Rabu, 15 Agustus 2012

Kerikil Hitam-6

Barangkali ada rasa yang berlebih, ketika aku membagi sedikit saja peluh pada mereka. Aku yang melintas batas jemu untuk bertutur pada bintang. Berharap segala terurai dalam cahaya. Namun, entah apa yang sempat mengisi hari-hariku dulu.

Lebih dari lelah ketika selaksa asa kembali pecah. Saat itu aku bahkan enggan bicara tentang nada yang pernah merangkum bulir. Mungkin sudah saatnya gua terisi lagi. Aku pun mulai lupa cara menggesek kayu untuk memercik api di dalamnya.

Sudahlah. Itu saja selalu katamu, kawan. Ada kegelisahahan yang mengetuk sedemikian gusar, saat aku menyalakan rokok. Aku tak tidur dan mataku memerah. Berkedip pun mulai terasa letih. Barangkali cara untuk berdamai ada pada surga kecilku. Berselimut sekejap dan menghitung waktu menuju tidur.

Tapi, tahukah kau? Aku hanya bisa berbaring. Mengusap-usap kening di tengah silau lampu. Jika pun ingin memanggilnya, aku harus menunggu hari berganti. Itu pun masih sesekali tak terjangkau. Bisa jadi mereka sengaja lupa.

Baiklah. Aku duduk lagi. Kembali menyalakan rokok. Aku hirup dalam gelap. Serumpun jengah mengaburkan apa yang aku sebut dengan makna lebur. Sukar sekali menelusuri tepi. Jengah. Bahkan mungkin lebih buruk dari itu.


Bandung, 6 Juni 2011

Tidak ada komentar: