Demi kini dan nati. Larik-larik puisi yang aku kirimkan sebagai wujud agung penghambaan menuai cinta. Mereguk gelas-gelas anggur yang ikut membisu. Melenguh dalam keluh lusuh. Mencoba merasuk ke celah kecil sendawa-sendawa dendam di tempat yang dulu aku sebut pemilik rahim.
Tak terhitung sudah getir yang memberi jalan-jalan setapak. Meniti tikungan pekat. Haruskah jatuh membuai harta dari lendir, duhai pemilik surga? Haruskah diri merangkak jilati pilu dalam tawa yang membentur lembab jalang hasrat manusia?
Aku hanya berbalut keyakinan kecil yang lancang mengucap maha cinta untuk segera sudahi detak. Apa yang kau maksud dengan durhaka, bunda? Kala aku hanya sekejap mengecap air susumu. Kala aku sekedip saja mencium wangi parfummu. Kala aku lebih rela ditemani rinduku sendiri.
Demi kini dan nanti. Usai sudah sajak yang bersenyawa untukmu. Raga ini letih mengisi riak dan gelombang murkamu yang enggan bertepi, bunda. Aku sirami tiap kering jiwamu yang meronta mencari sunyi. Kau tak henti gaduh mengajari cara membenci dia yang aku panggil ayah.
Purna sudah lelah menikam malam. Tempat aku meracau pada bintang. Tempat aku menghimpun penat yang binal rebah di penghujung mimpi. Tempat aku bertemu rasa yang aku paksa menerima segala goda. Disana ada candu dalam cawan nyanyian gagak. Ada ejek yang memasung pedih untuk bercerita pada ribuan dewi. Duhai pemilik surga, tidakkah kau jemput lukamu dan berbagi pada dusun kecil di kaki langit jingga?
Demi kini dan nanti. Ajari aku kesantunan semesta yang mengantarkanku pada sejumput alasan mencinta. Pada setitik air mata suci yang mengakhiri ketegaran semu. Tempat dimana aku bisa berbagi tanpa tirai yang menjadi sekat. Aku dan malaikatku yang tak lagi peduli tentang karangan surga.
Bandung, 1 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar