Memaknai makna. Itulah yang cukup tepat dekejawantahkan dalam keterbatasan penulisan kali ini. Menyingkap pengetahuan yang diberikan Sang Maha Kreatif untuk direnungi kemudian dilabeli makna. Mengutip pernyataan salah seorang pemikir dahsyat, Plato, hidup yang tidak direnungi adalah hidup yang tidak layak dijalani. Semenjak Plato mengeluarkan pernyataan-- yang menurut saya begitu cantik—waktu adalah ilusi. Jika semua hal di semesta raya dilingkupi waktu, maka segalanya adalah ilusi. Lalu, tepatlah perenungan yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan mendasar tentang perencanaan masa depan yang abadi. Apa yang dimaksud dengan keabadian? Apakah materi yang menyelimuti seluruh elemen jagat raya mampu mengantar kita mengenali keabadian inmateri yang agung dan mengerucut ke kesempurnaan Sang Maha Bijak?
Ketika hati meraba dan berkehendak untuk mengetahui segala sesuatu kemudian akal menghukumi dengan klasifikasi sistematis yang spektakuler menuju Dzat Kudus Penggenggam Kehidupan, layakkah kita duduk terdiam mengingkari geliat sentuhan cantik-Nya untuk mencari jawaban? Seluruh elemen kehidupan adalah komposit antara materi dan inmateri—jiwa dan raga. Ketika tiap sudut kehidupan tersusun begitu cantik dan teratur, layakkah pengucilan kehendak dan pikiran terjadi? Ada bahasa yang tersirat dalam setiap tanda kehidupan. Bahasa yang menjadi simbol. Makna selalu tegak berdiri di belakangnya bagi orang-orang yang mau berpikir.
Batu pun berbahasa. Pasir pun memiliki jiwa. Kesia-siaan adalah ketiadaan. Semua berbahasa, sedangkan bahasa memiliki makna. Begitu agung keindahan-Nya yang ternodai ketidaktahuan makhluk-Nya. Ketika cinta Tuhan meliputi makhluk-Nya, ketika hela nafas pun menjadi sebuah tanda kepatuhan mengingat kesempurnaan-Nya, adakah yang masih sanggup menafikan-Nya? Kehadiran-Nya yang inheren tak bisa hanya ditafsirkan secara transendental. Ada efek yang berbicara di balik itu semua. Materi –atau alam kita hidup memiliki massa—hanya penghantar menuju cinta-Nya yang abadi.
a. Stratifikasi Kesadaran, Bebas Terpaksa atau Terpaksa Bebas?
Kebebasan. Sebuah kata yang begitu agung di benak para pemikir dewasa ini. Apakah kebebasan itu absolut? Ataukah tidak pernah ada kebebasan berkehendak dalam diri manusia? Jika kebebasan absolut—dalam arti tidak adanya keterikatan yang dimiliki manusia—maka dimanakah letak Sang Maha Pengatur dengan segala keteraturan yang begitu indahnya berada? Tindakan dan pilihan terletak di bawah hukum-hukum cantik-Nya. Keteraturan yang mengikat alam semesta –termasuk segenap isinya—tunduk terikat di bawah aturan Tuhan dengan keistimewaan keselarasan.
Lalu, dimanakah letak kebebasan memilih? Ketika kita memilih sesuatu, maka hukum Sang Maha Pengatur berinterksi di dalamnya. Misalnya, ketika api digariskan memiliki kekuatan panas, maka apa pun yang bersinggungan dengannya pastilah terbakar. Terlepas digunakan untuk menyulut rokok ataupun membakar rumah. Maka dari itu, keburukan tidak pernah diciptakan Tuhan—mengingat Tuhan tidak memiliki keburukan—namun, hukum sosial kemasyarakatanlah yang menyebabkannya. Perdebatan antara determinisme dan free will cukuplah dihentikan sampai di sini.
Apakah manusia lahir disertai dengan pengetahuan ataukah tanpa pengetahuan yang mengikat? Manusia dilahirkan beserta pengetahuan dan perjalanan hidupnya adalah untuk menyingkap pengetahuannya tersebut. Puji Tuhan Sang Maha Perkasa! Ketika mata melakukan kedipan pertama, seluruh keindahan-Nya bercinta di tiap detak. Segala potensi tertiup menunggu arahan pengemudi. Apakah pengemudi yang dimaksud? Akal Suci. Tempat bernaung segala keelokan Sang Maha Indah untuk menyingkap kebenaran mutlak di muka bumi. Akal Suci yang tanpa kenal dusta. Tempat dimana segala penghukuman terjadi. Letak tertinggi menuju-Nya. Bukankah orang yang mengenali dirinya adalah orang yang mengenali Tuhannya? Berjalan dengan kaki-Nya, memberi dengan tangan-Nya, berbicara dengan lidah-Nya, dan menatap dengan mata-Nya. Puji Tuhan Sang Maha Indah!
b. Akal dan Hati
Perdebatan sengit tak redam hingga kini mengenai posisi akal dan hati. Mana yang lebih dulu? Akal dan hati adalah entitas yang sama, sehingga kedahuluan menjadi tidak bermakna. Pada saat berbicara dengan wilayah rasa, maka dia adalah hati. Ketika bersinggungan dengan wilayah penghukuman, maka dia adalah akal. Keduanya adalah satu kesatuan yang berada di dua koridor. Misalnya, seseorang bersedih. Pastilah hati merasakan kesedihan, sedangkan akal menghukumi bahwa dia bersedih. Akal mengklasifikasikannya dan dengan cermat mengurai runutan kejadian yang menjadi penyebab kesedihan tersebut.
Pemisahan antara akal dan hati tidak pernah ada dalam konsepsi teologi Islam. Keselarasan dan keseimbangan begitu dijunjung tinggi mengenainya. Puji Tuhan Sang Maha Sederhana! Lalu, dimanakah letak keterbatasan akal dalam menginterpretasi dan menembus sesuatu? Keterbatasan akal terletak pada ketidaktahuan kita, namun pengetahuan itu sendiri tidak terbatas. Ketidaktahuan kita menjadi hijab pengetahuan sesungguhnya. Ketidaktahuan menimbulkan rasa takut untuk melangkah.
Dimanakah peran akal saat menembus agama? Kita harus pahami bahwa agama hanya turun kepada makhluk yang berakal. Konsekuensinya adalah ajaran agama harus bisa dimengerti oleh akal. Tuhan tidak akan membebani kita dengan sesuatu yang melebihi kemampuan kita berpikir, bukan? Akal dapat menginterpretasikan seluruh aturan main agama selama pengetahuan kita tidak terhalang dengan hijab-hijab kebodohan dalam merasionalisasikannya. Terlebih jika kita berbicara tentang Islam dengan klaimnya rahmat bagi seluruh alam. Artinya, tidak ada penolakan untuknya karena dia adalah konsepsi penutup yang sempurna. Bagaimanakah rasionalisasi dapat menolaknya? Tuhan menciptakan agama untuk membebaskan manusia dari kebodohan. Lantas apa yang menjadi barometer mengenali dan menyingkap-Nya? Akal. Selama Akal Suci masih tertancap kokoh –mengingat Tuhan tidak pernah berdusta untuk selalu memberi petunjuk tanpa memilih dan memilah makhluknya—akal senantiasa menjadi tempat paling teduh untuk bercinta dengan-Nya. Petunjuk suci tanpa cela. Pembeda paling signifikan antara manusia dengan makhluk lain, sehingga manusia menempati stratifikasi tertinggi.
Bagaimana dengan hati yang penuh dengan keyakinan? Perlu diketahui bahwa keyakinan adalah efek lanjut dari pengetahuan yang dimiliki. Semakin tinggi pengetahuan, maka semakin tinggi pula keyakinan yang didapat. Misalnya, kita yakin Tuhan itu ada karena kita memiliki pengetahuan tentang-Nya. Mencoba mengenali-Nya. Mengetahui keberadaan-Nya. Jangan terjebak dengan pemikiran kaum materialis yang mengklaim bahwa mengetahui keberadaan-Nya dengan cara mengindera-Nya! Bukan itu yang dimaksud. Kita membicarakan eksistensinya bukan esensinya dengan keindahan realitas tunggal-Nya. Bukankah ketika kita tergerak untuk memikirkan-Nya, Dia telah menjamah kita terlebih dahulu –mengingat kehadiran-Nya begitu melekat dalam diri makhluk-Nya. Cinta-Nya selalu mendahului murka-Nya. Cinta-Nya senantiasa melingkupi segenap makhluk-Nya. Keberadaan-Nya menjadi misteri mengagumkan. Maha Nyata sekaligus Maha Tersembunyi.
Bukankah hal ini sangat kontradiktif? Perlu diingat bahwa kontradiksi terjadi karena adanya dua keadaan yang bertentangan dalam satu koridor atau waktu. Dia menjadi Maha Nyata dalam perspektif kecantikan ciptaan-Nya. Dia menjadi Maha Tersembunyi ketika kita mencoba menyentuh esensi-Nya. Bagaimana dengan Maha Awal sekaligus Tidak Berawal? Dia Maha Awal dalam perspektif penciptaan makhluk. Dia menjadi tidak berawal dalam perspektif diri-Nya. Jika dia berawal, maka artinya dia mengalami ketiadaan terlebih dahulu, namun itu tidak layak untuk disandarkan pada-Nya. Tidak ada yang kontradiktif dalam diri-Nya dan segenap keindahan ciptaan-Nya.
c. Penghukuman
Ketika hati meraba dan berkehendak untuk mengetahui segala sesuatu kemudian akal menghukumi dengan klasifikasi sistematis yang spektakuler menuju Dzat Kudus Penggenggam Kehidupan, layakkah kita duduk terdiam mengingkari geliat sentuhan cantik-Nya untuk mencari jawaban? Seluruh elemen kehidupan adalah komposit antara materi dan inmateri—jiwa dan raga. Ketika tiap sudut kehidupan tersusun begitu cantik dan teratur, layakkah pengucilan kehendak dan pikiran terjadi? Ada bahasa yang tersirat dalam setiap tanda kehidupan. Bahasa yang menjadi simbol. Makna selalu tegak berdiri di belakangnya bagi orang-orang yang mau berpikir.
Batu pun berbahasa. Pasir pun memiliki jiwa. Kesia-siaan adalah ketiadaan. Semua berbahasa, sedangkan bahasa memiliki makna. Begitu agung keindahan-Nya yang ternodai ketidaktahuan makhluk-Nya. Ketika cinta Tuhan meliputi makhluk-Nya, ketika hela nafas pun menjadi sebuah tanda kepatuhan mengingat kesempurnaan-Nya, adakah yang masih sanggup menafikan-Nya? Kehadiran-Nya yang inheren tak bisa hanya ditafsirkan secara transendental. Ada efek yang berbicara di balik itu semua. Materi –atau alam kita hidup memiliki massa—hanya penghantar menuju cinta-Nya yang abadi.
a. Stratifikasi Kesadaran, Bebas Terpaksa atau Terpaksa Bebas?
Kebebasan. Sebuah kata yang begitu agung di benak para pemikir dewasa ini. Apakah kebebasan itu absolut? Ataukah tidak pernah ada kebebasan berkehendak dalam diri manusia? Jika kebebasan absolut—dalam arti tidak adanya keterikatan yang dimiliki manusia—maka dimanakah letak Sang Maha Pengatur dengan segala keteraturan yang begitu indahnya berada? Tindakan dan pilihan terletak di bawah hukum-hukum cantik-Nya. Keteraturan yang mengikat alam semesta –termasuk segenap isinya—tunduk terikat di bawah aturan Tuhan dengan keistimewaan keselarasan.
Lalu, dimanakah letak kebebasan memilih? Ketika kita memilih sesuatu, maka hukum Sang Maha Pengatur berinterksi di dalamnya. Misalnya, ketika api digariskan memiliki kekuatan panas, maka apa pun yang bersinggungan dengannya pastilah terbakar. Terlepas digunakan untuk menyulut rokok ataupun membakar rumah. Maka dari itu, keburukan tidak pernah diciptakan Tuhan—mengingat Tuhan tidak memiliki keburukan—namun, hukum sosial kemasyarakatanlah yang menyebabkannya. Perdebatan antara determinisme dan free will cukuplah dihentikan sampai di sini.
Apakah manusia lahir disertai dengan pengetahuan ataukah tanpa pengetahuan yang mengikat? Manusia dilahirkan beserta pengetahuan dan perjalanan hidupnya adalah untuk menyingkap pengetahuannya tersebut. Puji Tuhan Sang Maha Perkasa! Ketika mata melakukan kedipan pertama, seluruh keindahan-Nya bercinta di tiap detak. Segala potensi tertiup menunggu arahan pengemudi. Apakah pengemudi yang dimaksud? Akal Suci. Tempat bernaung segala keelokan Sang Maha Indah untuk menyingkap kebenaran mutlak di muka bumi. Akal Suci yang tanpa kenal dusta. Tempat dimana segala penghukuman terjadi. Letak tertinggi menuju-Nya. Bukankah orang yang mengenali dirinya adalah orang yang mengenali Tuhannya? Berjalan dengan kaki-Nya, memberi dengan tangan-Nya, berbicara dengan lidah-Nya, dan menatap dengan mata-Nya. Puji Tuhan Sang Maha Indah!
b. Akal dan Hati
Perdebatan sengit tak redam hingga kini mengenai posisi akal dan hati. Mana yang lebih dulu? Akal dan hati adalah entitas yang sama, sehingga kedahuluan menjadi tidak bermakna. Pada saat berbicara dengan wilayah rasa, maka dia adalah hati. Ketika bersinggungan dengan wilayah penghukuman, maka dia adalah akal. Keduanya adalah satu kesatuan yang berada di dua koridor. Misalnya, seseorang bersedih. Pastilah hati merasakan kesedihan, sedangkan akal menghukumi bahwa dia bersedih. Akal mengklasifikasikannya dan dengan cermat mengurai runutan kejadian yang menjadi penyebab kesedihan tersebut.
Pemisahan antara akal dan hati tidak pernah ada dalam konsepsi teologi Islam. Keselarasan dan keseimbangan begitu dijunjung tinggi mengenainya. Puji Tuhan Sang Maha Sederhana! Lalu, dimanakah letak keterbatasan akal dalam menginterpretasi dan menembus sesuatu? Keterbatasan akal terletak pada ketidaktahuan kita, namun pengetahuan itu sendiri tidak terbatas. Ketidaktahuan kita menjadi hijab pengetahuan sesungguhnya. Ketidaktahuan menimbulkan rasa takut untuk melangkah.
Dimanakah peran akal saat menembus agama? Kita harus pahami bahwa agama hanya turun kepada makhluk yang berakal. Konsekuensinya adalah ajaran agama harus bisa dimengerti oleh akal. Tuhan tidak akan membebani kita dengan sesuatu yang melebihi kemampuan kita berpikir, bukan? Akal dapat menginterpretasikan seluruh aturan main agama selama pengetahuan kita tidak terhalang dengan hijab-hijab kebodohan dalam merasionalisasikannya. Terlebih jika kita berbicara tentang Islam dengan klaimnya rahmat bagi seluruh alam. Artinya, tidak ada penolakan untuknya karena dia adalah konsepsi penutup yang sempurna. Bagaimanakah rasionalisasi dapat menolaknya? Tuhan menciptakan agama untuk membebaskan manusia dari kebodohan. Lantas apa yang menjadi barometer mengenali dan menyingkap-Nya? Akal. Selama Akal Suci masih tertancap kokoh –mengingat Tuhan tidak pernah berdusta untuk selalu memberi petunjuk tanpa memilih dan memilah makhluknya—akal senantiasa menjadi tempat paling teduh untuk bercinta dengan-Nya. Petunjuk suci tanpa cela. Pembeda paling signifikan antara manusia dengan makhluk lain, sehingga manusia menempati stratifikasi tertinggi.
Bagaimana dengan hati yang penuh dengan keyakinan? Perlu diketahui bahwa keyakinan adalah efek lanjut dari pengetahuan yang dimiliki. Semakin tinggi pengetahuan, maka semakin tinggi pula keyakinan yang didapat. Misalnya, kita yakin Tuhan itu ada karena kita memiliki pengetahuan tentang-Nya. Mencoba mengenali-Nya. Mengetahui keberadaan-Nya. Jangan terjebak dengan pemikiran kaum materialis yang mengklaim bahwa mengetahui keberadaan-Nya dengan cara mengindera-Nya! Bukan itu yang dimaksud. Kita membicarakan eksistensinya bukan esensinya dengan keindahan realitas tunggal-Nya. Bukankah ketika kita tergerak untuk memikirkan-Nya, Dia telah menjamah kita terlebih dahulu –mengingat kehadiran-Nya begitu melekat dalam diri makhluk-Nya. Cinta-Nya selalu mendahului murka-Nya. Cinta-Nya senantiasa melingkupi segenap makhluk-Nya. Keberadaan-Nya menjadi misteri mengagumkan. Maha Nyata sekaligus Maha Tersembunyi.
Bukankah hal ini sangat kontradiktif? Perlu diingat bahwa kontradiksi terjadi karena adanya dua keadaan yang bertentangan dalam satu koridor atau waktu. Dia menjadi Maha Nyata dalam perspektif kecantikan ciptaan-Nya. Dia menjadi Maha Tersembunyi ketika kita mencoba menyentuh esensi-Nya. Bagaimana dengan Maha Awal sekaligus Tidak Berawal? Dia Maha Awal dalam perspektif penciptaan makhluk. Dia menjadi tidak berawal dalam perspektif diri-Nya. Jika dia berawal, maka artinya dia mengalami ketiadaan terlebih dahulu, namun itu tidak layak untuk disandarkan pada-Nya. Tidak ada yang kontradiktif dalam diri-Nya dan segenap keindahan ciptaan-Nya.
c. Penghukuman
Wacana yang menarik untuk dibahas selanjutnya adalah surga dan neraka. Surga begitu agung menjadi berhala kedua setelah konsepsi paganisme—tuhan-tuhan buatan manusia—sehingga Tuhan sesungguhnya menjadi subordinat kaum pencari surga. Neraka begitu menakutkan, sehingga orang beribadah dengan rasa takut. Pernahkah terpikir mengapa Tuhan menciptakan iblis dan benarkah iblis melakukan kesalahan? Benarkah iblis begitu layak untuk dibenci?
Sebelum Adam tercipta, bukankah makhluk-makhluk inmateri –Iblis dan malaikat—tercipta lebih dulu? Interpretasi liar saya berpikir bahwa ketika Tuhan menyuruh iblis bersujud –walaupun tafsiran ayat ini berupa semiotika—iblis berkata, ni Tuhan mau ngecek gw ato gimana? Katanya jangan sembah selain Dia tapi iseng-iseng nyuruh nyembah orang? Ogah banget gw! Wajarlah ketika itu mereka enggan dan diberi predikat sombong. Padahal jika kita telaah lagi, kesombongan iblis itu untuk cerminan kita. Konsistensi iblis sangat luar biasa. Demi cintanya pada Tuhan, mereka rela menjadi musuh bersama umat manusia. Bukankah dinamika kehidupan terjadi dengan kehadiran iblis? Bukankah menggoda manusia adalah tugas mereka untuk mendapatkan posisi terbaik dalam cinta Tuhan? Kita bisa menganggap mereka menyedihkan karena calon-calon penghuni neraka. Sekali lagi kita terjebak dengan simbol-simbol propaganda surga dan neraka! Neraka yang tercipta dari api –simbol penyesalan dan penderitaan abadi—dimasuki oleh iblis—tercipta dari api juga—maka, selesai sudah! Mengutip pernyataan Imam Ali, jangan melihat siapa yang bicara, tetapi dengar apa yang dibicarakan walau setan sekali pun! Segalanya menjadi istimewa ketika kita telaah lebih lanjut, bukan? Tentu segala ketentuan-Nya hanya berlaku bagi mereka yang berpikir.
Lalu bagaimana dengan klasifikasi pelaku ibadah? Mari kita cermati bersama! Ada tiga tipe orang beribadah. Pertama, dengan klasifikasi terendah, seperti budak kepada majikan. Tipe seperti ini adalah mereka yang beribadah dengan rasa takut. Penuh intimidasi. Makanya jangan pernah maksa-maksa orang buat beribadah. Jadi ibadahnya jangan-jangan karena takut ama kita lagi! Jangan-jangan juga kita jadi Tuhan buat orang yang kita suruh! Kedua, opportunis --orang beribadah seperti pedagang-- ingin mendapatkan keuntungan dan begitu perhitungan dengan amalnya. Ketiga , dengan klasifikasi tertinggi dan luar biasa, orang beribadah karena cinta. Orang-orang seperti ini melakukan segala sesuatu karena cinta kepada-Nya bukan untuk cinta-Nya karena tidak terhitung cinta Tuhan yang menjadi cahaya di setiap aliran darah kehidupan. Ada sebuah ungkapan sufi yang berkata bahwa lebih baik melakukan maksiat dengan cinta daripada beribadah tanpa cinta. Puji Tuhan Sang Maha Indah!
Oleh karena itu, hendaknya tiap amal yang kita lakukan dipenuhi karena cinta kepada-Nya bukan memperhitungkan seberapa besar pahala yang didapat. Ketika cahaya cinta Sang Maha Kudus senantiasa menyinari kehidupan, layakkah kita meminta imbalan dari kebaikan yang dilakukan? Ketika semua yang kita miliki adalah pemberian-Nya yang agung, masih layakkah kita meminta surga? Apakah kita menyembah surga sebagai bentuk berhala lain menyekutukan-Nya? Puji Tuhan dengan segala pengertian-Nya! Lakukanlah ibadah dengan cinta dan matilah karena cinta kepada-Nya!
Lantas, bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita, selaku makhluk Tuhan yang berbeda agama? Layakkah mereka masuk surga? Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah Dia tidak pernah menciptakan kesia-siaan. Bagaimana mungkin dia menciptakan makhluk tanpa petunjuk kemudian memasukannya ke neraka hanya gara-gara bukan Islam? Adakah manusia yang bisa menafikan fitrah suci dalam diri? Adakah kekuatan lain yang lebih dahsyat dari Tuhan? Tentu tidak! Maka, tidak ada yang bisa mengingkari-Nya. Ketika manusia meyakini ada sesuatu di luar dirinya yang maha dahsyat, itulah Tuhan dalam perspektifnya karena fitrah manusia adalah bertuhan. Hal terpenting adalah perspektif Tuhan dalam pikiran manusia –terlepas tuhannya adalah teknologi, alam, atau yang lainnya--bersifat ada, esa, dan sempurna. Intinya adalah keyakinan bertuhan, memiliki nabi, percaya kepada hari akhir—dengan konsepsi keberakhiran alam semesta dan pembalasan yang agung—maka berpotensi masuk surga.
Sekarang bagaimana dengan saudara-saudara kita di suku primitif pedalaman? Hal yang perlu dipahami adalah Tuhan tidak pernah membiarkan kita tanpa petunjuk. Sekali lagi, petunjuk paling dekat untuk berkomunikasi dengan-Nya adalah melalui Akal Suci. Signifikansinya terletak pada pemahaman penduduknya bahwa menunjuk dan memiliki pemimpin adalah fitrah manusia. Kualifikasinya ditentukan oleh kebutuhan dan sejauh mana pengetahuan penduduk tersebut. Bukankah manusia selalu melakukan segala sesuatu berdasarkan pemahaman? Maka, Tuhan pun menghukumi kita berlandaskan pengetahuan yang dimiliki. Puji Tuhan atas segala keadilan-Nya!
Salahkah perilaku suku primitif pedalaman karena tidak sesuai dengan aturan Islam? Tentu saja tidak. Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa memiliki pemimpin adalah fitrah manusia–terlepas kemasan cara—sehingga instruksi pemimpin yang tidak sembarangan tersebut–mengingat representasi penduduk dengan segala mekanisme penunjukan—adalah aturan main jalannya roda ritual dan sosial kemasyarakatan. Kepala suku, misalnya. Lain halnya jika mereka masuk Islam, maka harus mengikuti aturan yang ada di Islam.
Mari kita menilik konsepsi agama Yahudi dan Nasrani. Apakah mereka termasuk orang-orang tersesat? Tuhan menunjuk langsung para nabi dan rasul untuk memimpin komunitas sosial kemasyarakatan dan praktek ritual, bukan? Puji Tuhan sang Maha Benar! Pertanyaannya, apakah Yahudi yang disebarkan Musa dan Nasrani yang dibawa Isa menjadi salah? Bukankah Musa dan Isa ditunjuk langsung oleh Tuhan serta esensi dari ajarannya adalah keesaan Tuhan? Mengapa terjadi konsepsi trinitas, misalnya, di tengah masyarakat? Inilah yang kita sebut dengan distorsi sejarah. Maka dari itu, peranan mempelajari logika secara sistematis sangat darurat untuk mengevaluasi ideologi, kondisi sosial, sejarah, dan agama.
Bandung, 24 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar