Fase menuju bijak begitu sulit untuk ditapaki. Tidak cukup hanya dengan pemahaman komprehensif, tetapi juga ada realisasi yang dilakukan. Namun, sejauh mana hal tersebut bisa diimplementasikan? Perlu kita ketahui bahwa manusia melakukan segala sesuatu berdasarkan dengan pemahaman yang dimilikinya. Maka, tindakan lanjut adalah hasil dari pemahamannya tersebut. Bagaimana dengan penghukuman? Penghukuman terjadi jika tindakan yang dilakukan mengalami ketidaksesuaian antara konsepsi dan realitas.
Timbul pertanyaan mengenai landasan kebenaran yang menjadi pijakan penghukuman. Bagaimana dengan norma yang berlaku? Bukankah hal tersebut beraneka ragam? Bukankah relativitas menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri?
Mari kita pahami. Konsekuensi keberagaman tidak berarti menimbulkan relativitas. Misalnya, dalam tradisi Sunda, membungkuk ketika bersalaman adalah bagian dari etika. Namun, beda halnya dengan orang Batak. Hal ini tidak membuktikan adanya relativitas. Bagi masyarakat Sunda hal tersebut merupakan absolutisme kebenaran. Begitu pula pada suku Batak. Inilah yang disebut dengan subjektivitas. Subjektivitas tidak bisa dihukumi dan tidak sama dengan relativitas. Tidak mungkin ada sebuah pertentangan dalam waktu yang bersamaan. Kebenaran selalu mutlak dalam koridornya.
Relativitas memiliki konsekuensi benar atau salah. Bagaimana mungkin kita menggunakan landasan berpikir yang tidak jelas tanpa absolutisme? Prinsip universal berpikir adalah jawabannya. Jika contoh yang digunakan adalah benar menurut A belum tentu benar menurut B, maka landasan yang digunakan pastilah subjektivitas. Unsur subjektivitas antara lain, indera, pengalaman, dan imajinasi. Perbandingan yang memenuhi ketiga unsur tersebut pastilah beragam. Hal ini tidak membuktikan adanya relativitas, tetapi subjektivitas. Alasannya adalah hal tersebut akan selalu mutlak bagi dirinya.
Lalu, dimana letak objektivitas? Objektivitas terletak pada akal melalui prinsip universal berpikir. Misalnya, sebagian lebih kecil daripada keseluruhan, ujung-ujung pada sebuah garis lurus tidak pernah bisa bertemu, hitam itu gelap, dan sebagainya.
Prinsip berpikir, yakni:
a. Prinsip identitas -> Sesuatu adalah sesuatu itu sendiri.
A = A
Contohnya, aku adalah aku dan bukan selain aku.
b. Prinsip non kontradiksi -> Mengakui tidak sama dengan mengingkari
c. Prinsip tidak ada pililihan ketiga
Contohnya, hitam atau putih, benar atau salah, dan lain-lain
Syarat kebenaran, yaitu:
a. Adanya kesesuaian antara konsepsi dan realitas
b. Tidak ada pertentangan dalam diri
Pemahaman menuntut manusia berkonsekuensi atas pengetahuan yang dimilikinya. Ketika kita tahu mengenai salah dan benar, maka akan ada ketidaknyamanan dalam diri jika masih melakukan kesalahan. Jiwa tidak akan pernah terkotori, bukan? Bagaimana pun cara untuk mengelak ketidaknyamanan, sehingga seolah menjadi kenyamanan, kita tidak bisa menafikannya. Keberadaan akan selalu menghasilkan keberadaan. Ketidaknyamanan akan selalu menghasilkan ketidaknyamanan. Misalnya, kita tahu bahwa berbohong adalah sebuah kesalahan. Secerdik dan sesering apa pun kita melakukan kebohongan, bukankah ketidaknyamanan dalam diri tetap ada? Jiwa adalah fitrah suci yang tak akan pernah bisa dinodai oleh apa pun.
Pengetahuan membawa kita kepada pemahaman. Pemahaman membantu kita mendapatkan kesadaran. Kesadaran mengantarkan kita kepada implementasi. Implementasi membawa kita menuju gradasi kesempurnaan sebagai manusia yang lebih tinggi. Selamat berkontemplasi!
Bandung, 26 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar