Aku pernah bicara tentangnya yang tak 'kan pernah terdera. Selalu bagian dari derai.
Ah, ya, dia yang selalu mengawali prosa yang serba manis itu aku kira.
Sebagian darinya aku simpan dekat pintu agar selalu temani sebelum aku berangkat membuka helai-helai keajaiban baru.
Tentunya tempat yang paling bagus yang kamu punya selain di serambi hati, barangkali?
Sebagian lagi aku simpan di atas bantal agar aku tak pernah mencumbu sepi sebelum tidur.
Aku ingin punya banyak kantung. Yang besar. Super besar. Yang bisa menampung semua tentang dia, kapan pun aku mau.
Sebagian kecil aku dudukkan dekat jendela. Sebagian yang lain aku tidurkan di samping boneka kecilku.
Dia akan selalu aku taruh ke segala penjuru tempat. Agar kananku, dia. Kiriku, dia. Depanku, dia. Belakangku, juga dia.
Suatu saat kau tahu sebagian-sebagian itu terangkai dalam cerita manis yang nanti aku ceritakan pada bintang paling terang yang kita sempat namai bersama, juga pada ledakan bintang yang kelak membuatku sejajar denganmu.
Asalkan tentang dia, apapun yang sebagian-sebagian itu jadinya memang cuma satu. Manis.
Kau pernah ada. Ya, aku katakan itu mantap. Aku mencintaimu semudah ini.
Dia memang paling ajaib. Datangnya seperti penyusup yang paling pandai sejagat raya. Diterobosnya serambi hati yang tadi.
Aku mencintaimu dengan segala aksara yang terhampar. Aku mencintaimu dengan seluruh kata yang berderet acak. Aku mencintaimu seperti mereka yang tahu wangi bunga-bunga mekar.
Mencintai dia bisa dengan cara apapun. Bahkan dengan cara yang paling sederhana. Sekerling mata, itu cinta.
Aku tahu. Jika ini tentang arah yang lupa jalan pulang, aku masih enggan menepi. Bukan karena kecewa. Bukan karena perih. Namun, karena aku tak mengerti tentang batas yang linglung aku sampaikan pada laut. Dekat samudera itu kami berpuisi tentang bidadari dan gradasi warna langit. Kau pasti tahu Sentani.
Aku menggumam tentang citraku sendiri. Dalam malam yang mengingatkanku pada aroma tubuhnya yang dulu aku semprotkan sedikit parfum, aku terduduk rapuh. Ini bukan tentang batas. Ini tentang aku yang selalu tahu caranya menyampaikan rindu. Kini aku merindunya sepedih rotan yang dulu kami sambungkan dari Bandung menuju Jayapura.
*terima kasih tak terkira untuk Lestyana Purwanda untuk kesediaannya berprosa malam ini. Catatan kecil sederhana untuk ulang tahun yang tertunda. Selamat ulang tahun, kawan! Semoga terus menyempurna menuju cahaya cinta-Nya Yang Agung! Tuhan memberkati!
Bandung, 2 Oktober 2012