Kali ini aku menyerah. Kau boleh menarik nafas lega.
Lama sekali aku ingin menulis cerita tentang selaksa asa di cawan mimpi yang sanggup diterjemahkan surau tiap kali aku mengingatmu. Aku hanya ingin kau mengangguk dan tak perlu bicara. Aku ingin merasukimu dengan secangkir luka sisa malam itu. Kita terburu menyelesaikan bait kidung yang terlampau agung menyelinap di tengah ruangan. Kita enggan memerdekakan rindu, lelakiku. Kita asyik saling menukar duga. Berharap akan ada mereka yang memberi takaran-takaran omong kosong tentang keterlambatan kita. Aku ingin kita berlabuh setelah menggauli gelombang tiap samudera. Akan ada kau dan aku saja. Barangkali kita lupa akan batas waktu.
Jika kita luapkan jalur-jalur nahkoda, barangkali lain cerita. Kita tak tahu arti kata jengah yang dilempar ke muka, saat empat tahun lewat tak terkira binal. Aku ingin menggabungkan wangi dupa beserta rupa yang kau simpan di sudut paling ujung. Tepat dekat puntung rokok yang ikut setiba kilau yang kau cipta akhir tahun itu. Aku ingin kamu.
Aku bisa saja menemukanmu lagi dengan seonggok kerentaan di kereta atau di taman dengan sebatang tongkat. Kau akan mendapati bahasa yang hilang, saat aku tak berhenti berpuisi tentang rindu yang masih untukmu. Satu hal yang kau akan mengerti, rasa ini tak bertempat. Kau tak pernah kehilanganku karena tak sekejap pun aku beranjak dari kursi rodaku. Untukmu, lelakiku, aku enggan pergi.
Aku tahu cara menghentikan degupku sendiri, namun kau butuh mengajariku mengayun musim untuk melambaikan tangan padamu. Aku mungkin tertipu hujan. Ah, kita mencermati rintik dengan hela nafas yang malu mengakui jerit, bukan? Aku ragu ini hasrat yang aku pilih sendiri.
Kali ini aku menyerah. Kau boleh menarik nafas lega.
Bandung, 2 Oktober 2012