Menggugat banyak hal memang cukup melelahkan. Akal meraba-raba jalan keluar yang membingungkan. Hidup masih terus berjalan, bukan?
Mengamati terus menerus. Kita mencintai kebebasan dalam berpikir. Ada kalanya harus diam. Ada waktunya banyak bicara. Merasa dikhianati oleh diri sendiri. Tertekan akan ternodanya arus liar penolakan kebenaran. Menyakitkan. Absolutisme begitu pekat. Tak ada yang lepas dari penghukuman.
Penolakan bertubi dari kaum fakir yang menolak kehadiran diri. Letih. Apa yang mereka inginkan dari kebodohan massif ini? Tidakkah mereka mengerti bahwa apatisme adalah sebuah penegasan arogansi dalam ketidaktahuan? Bukankah keraguan yang menimbulkan kegelisahan diri kemudian mencari tahu makna lebih baik daripada kenyamanan dalam kebisuan? Ada apa di benak mereka?
Tuduhan demi tuduhan gencar mencaci. Apakah ini adalah representasi dari keterpurukan pemikiran masal? Tersudut dalam ketidakpedulian dan determinisme. Fatal. Kerinduan akan kejujuran jiwa. Tidakkah ketulusan menghujam hati? Mengapa lebih memilih untuk lari ketika jalan terbuka lebar?
Tangisan saja tidak cukup. Biarkan saja berceloteh. Meracau. Memaki. Bebaskan diri dari kungkungan pragmatisme. Kian berserak kaum kafir intelektual! Makin banyak penyembah berhala kepalsuan berbalut kenikmatan abadi. Tidakkah disadari kondisi memprihatikan memaksa berubah? Apakah diam adalah pilihan? Ataukah menyerah terhadap garis kelam fatalisme menghantam dalam posisi yang dikondisikan? Hayati gaung akal yang mendongkrak kehidupan.
Para retoris dungu mencerca. Kita lelah dengan ajaran berani mati. Kapankah kita diajari berani hidup? Dikotomis dan pragmatis dalam penipuan global menjadi racun-racun pemahaman yang begitu layak didekonstruksi. Runtuhkanlah pembodohan yang merusak ini! Adakah nurani tertutup? Bergeraklah! Sekecil apa pun itu.
1. Misi Agama: Membangun Peradaban
Tak ada yang lebih berbahaya ketimbang keagamaan tanpa akal budi. Keagamaan yang dilandasi semangat absolutisme lebih mengerikan dibandingkan dengan sekularisme yang penuh keadilan dan kerendahan hati. Sufi agung, Ibn Athaillah Aliskandary, dalam karya besarnya Al Hikam menulis, “Dan sekiranya engkau berkawan seorang bodoh yang tidak menurutkan hawa nafsunya, lebih baik berkawan seorang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Maka ilmu apakah yang dapat digelarkan bagi seorang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya itu? Sebaliknya, kebodohan apakah yang dapat disebutkan bagi seorang yang sudah dapat mengekang hawa nafsunya?”
Menurut Ali Syariati dalam bukunya Agama versus “Agama”, yakni: “Sepanjang sejarah, agama tidak berkonfrontasi dengan non-agama. Agama berkonfrontasi dengan “agama”. Agama selalu berjuang melawan “agama”. Agama monotheisme yang berdasarkan kesadaran, wawasan, cinta, dan kebutuhan sesorang, primordial, kebutuhan filosofis, berdiri berhadapan dengan agama yang lahir dari kebodohan dan ketakutan. Sementara musuh agama adalah taghut yang menyuruh umat manusia untuk melawan sistem kebenaran yang mengatur alam dan kehidupan, menimbulkan perbudakan dan bermacam berhala yang mewakili berbagai kekuasaan masyarakat. Siapakah taghut ini? Mereka adalah menurut Kitab Suci Al Quran, para aristokrat yang kaya, mala’, dan orang-orang serakah yang hidup dalam kemakmuran dan kemewahan, mutrif, orang-orang yang berkuasa di masyarakatnya sendiri tanpa punya rasa tanggung jawab… Berkuasa baik dalam cara yang jelas-jelas atas namanya sendiri maupun dengan melindungi dirinya di bawah kedok agama Tuhan dan rakyat.”
Maka dari itu, sudah seharusnya kita memberikan pemahaman agama yang sosiologis kepada segenap elemen bangsa. Bukan hanya sibuk dengan wilayah ritual transendental saja, tetapi juga melihat sisi Islam dalam konsep universal tanpa dikotomi. Tidak hanya berkeringat mengajari cara shalat dan mengaji yang benar, tetapi juga bermasyarakat yang utuh. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dialog dan diskusi, bukan dengan ceramah doktrinasi anti kritik yang menyebabkan kemandulan pemikiran dalam beragama agar kita tidak termasuk kaum sekularis diam-diam.
2. Urgensitas Filsafat dalam Peradaban Manusia
Manusia adalah makhluk yang berpikir. Akal adalah satu-satunya pembeda dengan makhluk lain. Esensi hidup dalam perspektif sufisme adalah penyatuan dengan-Nya, sedangkan dalam teologi adalah kesempurnaan menuju-Nya. Memahami wujud realitas tunggal-Nya adalah jalan termudah menyingkap segala bentuk esensi.
Maraknya kasus penjualan agama adalah bentuk pelacuran pemikiran atas dogma-dogma pembungkaman fitrah. Peracunan pemahaman dalam hegemoni materialistik anti kemapanan yang dibubuhi melalui gaya hidup, tontonan, bacaan, dan lain-lain. Ironisnya, di tengah masyarakat dunia dengan semangat isu globalisasi beserta perangkat penemuan mutakhirnya, kita masih berkutat dalam pelarangan dan filtrasi buku –tanpa dievaluasi terlebih dahulu—tanpa sadar mengamini pemikiran yang sama sekali di luar Islam. Sungguh kebodohan terselubung! Alih-alih mendiskusikan perkembangan isu hangat dalam rangka memperluas wawasan dan keimanan, kita malah sibuk menghindari ajang diskusi dengan dalih membuang waktu. Sementara itu, pemikiran sesat dari luar Islam mengakar dan mendarah daging dalam tubuh tanpa kita sadari.
Pemisahan pengetahuan dari agama adalah langkah naïf yang harus dikikis. Ketidaktahuan sebagai penyebab terjungkirnya pemahaman kian dirawat dalam kampus atau institusi yang seharusnya memajukan intelektualitas bangsa. Ketika upaya dialog dan diskusi dibuka sebagai sarana pembebasan keyakinan buta, begitu mudahnya vonis kafir dan sesat terucap. Inikah yang disebut dakwah? Pemahaman adalah langkah awal membuka tataran praksis yang lebih bernilai. Namun, kita seringkali tidak mau membuka diri dengan orang lain yang berbeda dengan dalih keterbatasan akal agar bisa menyembunyikan doktrin turunan yang pragmatis dan dogmatis.
Perbedaan sebagai anugerah Tuhan dinafikan dengan menghindari dialog terbuka. Mohammad Hatta berkesimpulan bahwa agama adalah sesuatu yang tidak bisa diperdebatkan. Inilah yang menjadi senjata untuk menjauhkan diri dari diskusi-diskusi keagamaan. Padahal, agama yang dimaksud Hatta adalah spiritualitas individu dalam koridor transendental. Lucunya, saat pernyataan tersebut digunakan, kita juga menyerang wilayah ritual transendental orang lain yang tidak relevan dengan bahasan sosiologis keagamaan. Ketika pengetahuan menjadi ejekan, lantas apa yang dibanggakan dari kesempurnaan Islam sebagai agama penutup yang memiliki klaim rahmatan lil ‘alamin? Beginikah sikap umat Muhammad dalam tantangan pluralitas zaman sebagai pemberian agung Sang Maha Bijak? Menyingkirkan fitrah perbedaan dengan teks-teks suci. Sungguh kesesatan yang nyata!
Ketika upaya mengungkap esensi menjadi keharaman yang entah dari mana, layakkah kita terjebak dalam kedangkalan pemikiran macam itu? Tindakan apatis –arogansi dalam ketidaktahuan—begitu tumbuh subur di kalangan “orang-orang suci”. Di satu sisi mereka menolak kesombongan untuk tumbuh dalam diri, namun di sisi lain arogansi merasuk dalam pemahaman konvensional –menolak pemikiran baru yang “merusak” iman--. Buruknya, eksklusivitas yang dirawat tersebut menghilangkan kesadaran betapa kesombongan begitu melekat dalam “diri suci” mereka. Bukankah penyerahan jiwa berbekal pengetahuan suci adalah tindakan yang tepat dibandingkan dengan kepasrahan beribadah dalam dogma yang menyiksa diri tanpa tahu apa-apa?
Simbol menjadi berhala atas kepatutan kesalehan. Betapa seringnya kita mempermasalahkan bentuk kerudung atau jilbab daripada menyingkap esensi di balik hijab. Orang-orang bercap hitam di kening dinilai rajin shalat. Kerudung yang mudah terbang –saking besarnya—dianggap wanita saleh tak terjamah. Namun, kita tidak berusaha menyingkap pemahaman mereka –entah karena sarana yang minim atau sikap tertutup yang seragam—untuk berbagi pemikiran. Perbedaan ideologi dijadikan hambatan. Bukankah keberagaman tidak patut dihindari selama adanya keterbukaan pemikiran? Kemerosotan intelektual ini menyebabkan keterpurukan perilaku kemanusiaan yang seharusnya tetap tumbuh secara alami tanpa racun-racun doktrinasi dogmatis.
Stagnasi yang ada dengan mudah tercipta atas terpeliharanya doktrin-doktrin usang. Layakkah menyebut diri sebagai “orang baik-baik” tanpa berani menyibak esensi keagungan-Nya yang suci? Bukankah hal tersebut adalah pilar dalam proses kematangan untuk lebih bijak dan holistik? Sungguh penodaan terselubung dalam ketidaktahuan konsepsi kesempurnaan suci keagamaan!
Apakah kabut hitam apatisme umat beragama kian tebal, sehingga kita begitu menutup mata akan esensi keberagamaan yang sesungguhnya? Apakah kita termasuk umat yang mengamini kemunduran peradaban yang disabdakan Muhammad? Apakah menunggu kedatangan Imam Mahdi dan berdoa agar keadaan menjadi lebih baik serta berharap mukjizat datang begitu saja dari langit tanpa berbuat apa-apa adalah jalan terbaik? Ataukah kita akan terus larut dalam romantisme sejarah Perang Salib atas terpuruknya keadaan umat?
Cukup sudah dosa sosial yang diciptakan para pendahulu untuk mengebiri hak mempertanyakan sesuatu yang “haram”. Buka sejarah baru dengan semangat kemanusiaan berlandaskan pengetahuan. Apakah kita dengan mudah menyerah hanya dengan cap kafir yang dituduhkan tanpa validitas referensi? Padahal orang-orang yang melabeli kafir pun “bercinta” dengan para penindas rakyat agar acuan kerja dalam institusi atau kurikulum dunia pendidikan tersusun sedemikian rupa untuk kemandekan intelektualitas. Bisa jadi kita pun termasuk klasifikasi pendosa masal itu.
Betapa mengerikan kepungan skenario global saat ini! Jalan satu-satunya adalah berani membuka diri atas sesuatu yang baru dan penuh kesadaran mempelajari filsafat secara utuh. Bukankah yang dapat menguasai daratan dan lautan hanya orang-orang yang berilmu? Lalu, bagaimana nasib umat ketika hajat hidup orang banyak tersebut dikuasai para penindas tanpa kita sadari? Masihkah kita tetap sibuk melakukan ritual tanpa mau membuka tirai bermasyarakat? Ataukah kita memang hanya menginginkan keindahan surga dan kesuksesan dunia untuk diri sendiri tanpa mau berbagi pengetahuan dengan sesama? Apakah kita mengira Tuhan akan memberikan surga-Nya hanya karena ritual? Apakah kita berhak menuntut-Nya atas perbuatan di dunia dengan mental pedagang yang menginginkan keuntungan? Ataukah surga telah menjadi berhala sehingga ibadah yang kita lakukan melupakan keagungan-Nya dalam esensi ibadah itu sendiri? Kita mungkin memang tak pernah ingin tahu makna pemimpin di muka bumi. Kita hanya menghitung pahala dan memimpikan surga untuk diri sendiri dan melupakan cinta-Nya yang mengizinkan nafas berhembus. Masih layakkah kita menuntut surga-Nya? Ketika seluruh alam bertasbih menyebut nama atas cinta-Nya yang abadi untuk seluruh makhluk, kita tak pernah berusaha mencintai-Nya. Kita lebih merindukan surga daripada Dia. Ataukah kita memang tak pernah mengenali-Nya dengan segenap cinta yang Dia berikan?
Bandung, 8 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar