Jumat, 09 Agustus 2013

Gara-gara Radio

Ingin merona depan wajahmu dan berkata, aku selalu jatuh cinta!

Mari kita urai rindu tanpa harus terjebak pada temu!


 
Baru beberapa hari ini saya memutuskan untuk mendengarkan radio lagi. Saya pulang ke rumah sekadar membawa radio yang ayah saya berikan empat belas tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Saya memiliki banyak cerita di balik radio ini. Bukan. Bukan tentang pertemuan konyol yang mengantarkan saya pada ciuman pertama bertahun-tahun yang lalu. Saya merindukan satu hal; keintiman.

Namanya Zep. Entah apa yang ada dalam pikiran saya ketika menamai radio ini. Yang jelas saya senang menamai barang-barang yang saya cintai dengan nama laki-laki. Haha!

Tadi malam saya mendengarkan radio dan merasa dihantam dengan satu cerita masa lalu. Hampir lima tahun lalu dan saya masih merasa menjadi bagian dari cerita dungu ini. Saya tahu, ini perkara penerimaan. Iya, menerima sesuatu di luar kendali. Jauh dari yang diinginkan. Saya tak lebih dari perempuan yang masih sibuk menerka, tapi juga tak kuasa jika harus mengulang cerita lagi bersamanya. Bagaimana mungkin saya bisa melawan ledakan rasa? Kadang letupan kecilnya membuat saya ingin masuk dan membakar diri hidup-hidup.

Mahasiswa bisa menjadi sarjana dalam waktu lima tahun. Bayi bisa mulai masuk TK dalam lima tahun. Seorang anak bisa menjadi kakak dalam jangka waktu lima tahun. Pasangan suami istri bahkan bisa punya anak lebih dari tiga selama lima tahun. Karir bisa melesat atau jatuh dalam lima tahun. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam waktu lima tahun. Saya? Bahkan dengan membayangkan cerita manis bersamanya saja, saya tak berhenti jatuh cinta! Lima tahun berlalu dan sekarang malah menjadi-jadi.

Saya sudah tidak lagi bersamanya sejak empat tahun lalu. Berdoa untuknya dan mendoakan dirinya baik-baik saja adalah hal yang tidak pernah saya lakukan. Dendam? Bukan. Entah. Rasa bukanlah bisnis yang bisa dikalkulasi tentang untung-rugi. Bukan hitungan dengan rumus eksakta. Saya tak ingin dia sengsara, tentu. Namun, untuk meminta dia bahagia di sana dengan segala biru laut Indonesia tengah pun saya tak sanggup.

Baiklah, Tuan. Saya ingin kita sama-sama paham bahwa saling membebaskan dengan melepaskan senyum itu bukan hal yang mudah. Yang saya tahu, senyum saya masih muncul ketika saya ingat masa-masa bodoh dan indah itu. Bukan karena saya belajar memaafkan masa lalu, apalagi membebaskan.

 
*terinspirasi dari lagu Brian Mcknight – 6, 8, 12. Lagu tentang miniatur lima tahun.

Tidak ada komentar: