Hipokritas ketimuran adalah sesuatu yang menarik perhatian saya sejak beberapa tahun lalu. Fenomena sosial yang ada membuat saya mempertanyakan kembali persoalan moral yang dianut bangsa kita. Bangsa yang terletak di bagian timur dunia. Bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai. Bangsa yang katanya memegang teguh prinsip teologis. Lantas, ketika ide ini diverifikasi, apa yang terjadi? Nilai ketimuran hanya kurikulum formal di sekolah-sekolah tanpa aplikasi nyata. Nilai agama hanya stiker yang ditempel tanpa ada pembuktian konkret yang merekatkan nilai kemanusiaan. Bisa jadi orang berbondong-bondong meninggalkan pesan suci yang tidak tersampaikan ini menjadi bagian dari kesalahan kolektif dari mereka yang konon pemegang estafet risalah teologis.
Saya berpikir ulang tentang realitas mengenai pembicaraan basa basi perihal moral. Dalam sebuah masalah pasti ada yang salah. Dalam tindakan yang salah pastilah ada gagasan yang salah pula. Lalu, gagasan salah kebangsaan dan keberagamaan kita bermuara dimana? Pertanyaan sederhana yang membutuhkan analisis pelik. Penyimpangan perilaku terjadi secara merata, kawan. Ada apa dengan pola pikir bangsa kita? Di satu sisi kita masih berbicara tentang kolektivitas moral, namun di sisi lain kita pun memiliki pergeseran budaya akut. Kita mulai individualis. Ketidakpekaan sosial terjadi sebegitu mengerikan. Kita tidak lagi peduli. Cobalah kita tengok kota-kota besar dengan segala macam perilaku individunya yang bahkan orang barat pun tidak demikian. Semua orang dipacu waktu, namun lupa akan kondisi masyarakat. Ada apa dengan norma ketimuran kita? Norma yang hanya sebatas label tanpa makna dan nilai lagi. Ini bukan lagi memalukan, tapi juga memilukan.
Mari kita lihat vulgarnya peran media membuat propaganda sampah yang tidak bernilai. Kita dicekoki dengan acara-acara tidak bermutu. Kita dibuat gelisah dan berakhir pada ketidakpedulian terhadap kondisi bangsa. Masyarakat mandiri dalam opini berkualitas tinggi dengan analisis tajam hanyalah mimpi agung. Pendidikan yang terpuruk menyebabkan buntunya pola pikir dan kemandulan kreativitas. Para pengajar melupakan peran pendidik. Bisa jadi para pengajar dan pendidik kita memilih profesi demikian sebagai bentuk frustasi individu karena tidak ada lagi pilihan lain. Sehingga yang terjadi adalah kehilangan arahnya anak bangsa. Kita disorientasi.
Mari kita ulas awal kejengahan intelektual ini. Sejak kecil kita tidak diperkenalkan dengan kebebasan berpikir. Kita dianggap kertas putih yang siap dicoret segala macam kontaminasi. Kita tidak dianggap sebagai bibit unggul. Ada pola yang menarik jika kita bandingkan dengan pendidikan di barat sana. Sejak bayi mereka memiliki kamar sendiri. Ketika pun anaknya mulai bisa memegang sendok sendiri, mereka dibuat sejajar di meja makan. Acara makan bersama tentu memiliki suguhan obrolan aktivitas sehari-hari. Mereka terbiasa merekam kegiatan itu, sehingga ada pola pertumbuhan kebebasan berpendapat. Ketika mereka masuk sekolah, mereka ditawarkan untuk memilih pelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat. Masuk waktu tidur, mereka membacakan cerita untuk anaknya dan terjadilah dialog mengenai dongeng tersebut. Jika orang tuanya pergi dari rumah, mereka hanya mengucapkan dua hal; take care yourself and I love you. Mereka dibuat percaya diri atas cinta yang diberikan dengan sebuah tanggungjawab. Tidakkah pesan itu menakjubkan? Lepas dari sekolah menengah, mereka mulai meninggalkan rumah. Ada nuansa kebebasan berpikir dan semangat kesetaraan yang begitu manusiawi.
Sekarang mari kita bercermin tentang bangsa kita. Sejak bayi, kita dibiasakan digendong jika menangis. Masuk usia balita kita dikejar-kejar sekedar untuk makan. Tidakkah kita melihat bahwa ini adalah simbol superioritas yang nyata? Masuk waktu tidur, orang tua menakut-nakuti tentang segala macam mitos agar kita cepat tidur. Jika orang tua pergi dari rumah, kita disuguhui seribu macam larangan. Di usia sekolah kita harus menyerap sekian banyak pelajaran tanpa bisa memilih. Ini terjadi hingga penjurusan kuliah. Jurusan tidak memiliki signifikansi pembeda. Kita harus melahap seluruh mata kuliah. Hasilnya? Kita tidak pernah memiliki ahli dalam bidang apa pun. Para pengajar adalah dewa dengan abosultisme luar biasa yang anti kritik dan anti dialog. Tidak mengherankan hingga masa dewasa datang, kita bingung menentukan pilihan. Apa pun harus lewat restu orang tua. Seringkali izin itu pun tidak masuk akal. Tidak ada yang boleh menyanggah mereka. Nilai kemanusiaan dan pola pikir apa yang kita dapat? Inferioritas. Hanya itu.
Mari kita akumulasikan keburukan pendidikan kita. Mahasiswa menjadi oportunis dengan bermodalkan kedekatan emosional dengan dosen untuk mendapatkan nilai bagus. Kita tidak terbiasa dengan dialog, kawan. Ini menyedihkan! Kita tidak terbiasa membuka pikiran dengan beradu argumen, sehingga menghasilkan pendidikan yang sehat. Orang cerdas dengan pemikiran berbeda harus siap diasingkan. Orang dengan pola pikir mandiri harus berani teralienasi dengan mata kuliah yang sulit lulus. Saat kelulusan tiba, tidaklah mengherankan kita terjebak menjadi buruh tanpa keahlian bidang studi apa pun. Masalah pengangguran menjadi pekerjaan tahunan pemerintah yang terus dikaji ulang. Ini sistem yang amburadul, kawan! Kita tidak terbiasa melakukan tindakan antisipatif yang buruknya ini pun terjadi di lingkungan pemerintah kita.
Pendidikan kita kehilangan arah. Kurikulum terus berganti tiap tahun. Standar internasional menjadi acuan, sedangkan kita tidak memiliki perangkat yang memadai untuk hal itu. Pantaslah kita tidak memiliki harga diri sebagai bangsa. Pantaslah kita hanya menjadi kacung di negara sendiri. Atas dasar inilah kita kehilangan jati diri kebangsaan. Kita kehilangan kendali. Kita lupa ada tumpah darah yang dipertaruhkan demi kemajuan ibu pertiwi. Kita hanya jatuh pada angan-angan masa lalu tentang label ketimuran dan stiker keberagamaan tanpa implementasi yang jelas. Kita menjadi bangsa yang gamang akan identitasnya. Kita tidak tahu akan kearifan budi pekerti asli bangsa karena ruang dialog yang bernuansa pendidikan dalam bidang apa pun begitu tertutup dan haram untuk dilakukan.
Entah berasal dari mana pembodohan masal ini. Sebagai orang yang beragama kita sering diajari berani mati tanpa dididik berani hidup. Tujuan kita melangit tentang kehidupan setelah kematian. Kita tidak pernah dibuat memahami kehidupan. Kita menegasikan pentingnya pendidikan hidup di universitas semesta raya ini. Mari kita mengheningkan cipta.
Bandung, 15 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar