Kamis, 16 Agustus 2012

Demi Langit-13

Mengutip salah satu dari pernyataan di sebuah cerpen karya Icha Rahmanti, meninggalkan atau ditinggalkan memiliki masa berkabungnya sendiri. Seringkali kita bermain dengan waktu. Ya, bagaimanapun kehidupan hanyalah sekedar taman bermain. Arena judi terbesar milik semesta. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kemudian. Banyak konspirasi dan spekulasi. Semua orang berebut tentang mimpi dan hari esok. Namun, pernahkah kita sejenak berpikir bahwa ini permainan yang penuh dengan lelucon? Kita lahir dan akan mengakhiri kehidupan sendiri. Kelak pun tak ada yang berbagi pahala dan menanggung dosa orang lain. Kita bertanggungjawab penuh akan kedirian. Dalam hubungan jenis apa pun, manusia memiliki ruang yang senantiasa tertutup hanya untuk dirinya. Lantas, terpikir oleh saya mengenai kegunaan bersosial. Jika semua hal kembali pada individu, apa gunanya toleransi dan segala hal yang bersentuhan dengan sosial kemasyarakatan? Kita dituntut bersinggungan dengan orang lain dan berbagi cinta dengan umat manusia, sedangkan pada segala macam urusan, hal itu berbalik pada individu. Tidakkah kita berpikir bahwa ini hanyalah bentuk kepura-puraan paling nyata? Kita dibuat sibuk dengan hal di luar diri yang ujungnya bermuara pada kedirian. Titik.

Banyak hal memenuhi deretan pikiran saya akhir-akhir ini. Isu terbesarnya adalah lelucon ini. Sinis? Saya pikir tidak. Kontemplasi yang begitu radikal ini menyita daya berpikir saya. Lalu, apa tujuan manusia sesungguhnya? Bukan hanya mempersoalkan motivasi tiap individu, namun pada motivasi semesta raya yang dinyatakan eksis sejak jutaan tahun lalu. Kecintaan saya pada analisis kehidupan begitu tinggi, sehingga saya senang menghabiskan waktu dengan berpikir. Mari kita belajar membedakan antara menghabiskan dan membuang waktu. Menghabiskan waktu penuh dengan kontemplasi berbasis kecintaan pada sesuatu yang dilakukan. Namun, membuang waktu adalah bentuk lain dari ketidaktahuan penggunaan dan tindakan, sehingga hasilnya tidak bermakna.

Berbagi hanyalah tindakan yang dilakukan manusia di semesta, tidak pada perspektif eskatologis. Saya curiga bahwa dengan beragamnya umat manusia bermula dari pembentukan eksistensi aliansi masa lampau. Toh, kita berujung pada muara yang sama, bukan? Pada Tuhan yang sama. Manusia jenis apa pun memiliki percikan adikodrati yang sama. Selalu menginginkan kenyamanan dan kebahagiaan serta senantiasa membenci sesuatu yang menyakitkan. Berawal dan berakhir pada titik yang sama. Kita dibuat berbeda garis geografis, ras, agama, dan lain-lain. Kita memiliki pedoman dan panutan yang berbeda, namun secara esensi jatuh pada persamaan universal dimana cinta dan kedamaian menjadi dambaan makhluk. Sedangkan kita dibuat lelah dengan partikularisasi yang ada. Fokus manusia terpecah dengan adanya motivasi individu. Tidakkah ini menggelikan?

Jika pun ada sebuah pertanyaan dilayangkan tentang tujuan kehidupan pribadi saya, saya akan menjawab, saya hanya ingin menemukan seluruh jawaban atas pertanyaan saya. Mengurai pertanyaan dan perlahan menemukan kepingan-kepingan analisis yang terlupa. Menyempurnakannya dengan utuh. Suatu saat terwujud. Pasti!


Bandung, 15 Desember 2011

Tidak ada komentar: