Dia dengan badai di kepala. Hentakan tak pernah berhenti jika pun ratusan puisi dia kirimkan pada Tuhan. Dingin tangannya serupa udara pagi. Panas ucapnya seperti api yang menjilati pemukiman-pemukiman kumuh.
Ah, dia yang melempar kerikil-kerikil kecil pada malam. Dia memang kadang sedungu keledai-keledai di padang rumput. Dia tak mengerti betapa ketulusan berbalas angkuh yang tertanam tak sengaja merobohkan rasaku untuk berhenti merangkul hatinya.
Ya, dia lebih keras dari batu. Kau tak tahu betapa luka di tiap kali kau menghampiri kota dan sengaja tak beri tahu aku tentang tawa. Aku mungkin tak masuk bagian dari canda. Namun, aku enggan pula kau sebut durjana! Aku memang bukan orang yang kau tuliskan mantra. Tapi, aku tak seburuk gemuruh yang kau ciptakan di malammu.
Kau boleh mencicipi persembahan yang aku siapkan di tenda-tenda kecil. Satu yang ingin aku sampaikan. Aku tak sepecundang dirimu, saat mencoret lembar-lembar baru di pagiku! Usah kau ucap ketegaranmu yang seolah membongkar langit. Saat kau mencoba membuka mimpimu pun, kau berilusi dengan semesta. Pendusta!
Temanku duduk di ujung tempat tidur. Entah apa yang ada dalam pikirannya ketika mendengar hujan. Kesekian kalinya aku menggenggam gelas anggur. Menenggaknya pelan dan merobohkan permainan sukma yang seringkali tak lucu berkelakar.
Dia tak jauh dari senyumnya yang dingin. Dia ingin serupa gedung tinggi. Dia ingin selicik ular penuh bisa. Mari kita membuang waktu saja, tawarku. Barangkali angkuhmu dapat terkikis sedikit.
Dia menggeleng. Kalau begitu, mari bermain dadu, sahutku. Dia lagi-lagi menggeleng. Aku ingin menamparmu, kali ini aku geram. Selalu saja kau pikir sebrangi jembatan bambu, dasar bedebah! Apakah kau tak melihat ada kunang-kunang disana? Sebelumnya bahkan ada pelangi warnai sore hari. Gelap itu ada dalam pikirmu. Bukan di luar!
Untuk para pemuja kesetiaan, belajarlah menjabat tangan orang lain. Jaga saja pikiran dan hatimu. Kau pikir Tuhan hanya milikmu?
Bandung, 6 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar