Rabu, 15 Agustus 2012

Kerikil Hitam-8

Setidaknya empat ilalang aku tebas. Empat ular dalam satu ladang. Oh, tidakkah kau pikir itu mengerikan? Aku membawa celuritku. Tatapanku jauh lebih tajam dari mereka. Aku memiliki naluri mengahancurkan yang lebih liar dari harimau di hutan sana. Dulu, berlutut pun kita bersama. Membelah kelapa dan meminum airnya bersama. Bah! Empat! Ular betina jalang itu menjulurkan lidahnya padaku. Mencoba menuangkan bisa pada tungku tempatku melewati malam.

Durjana. Ini durjana!

Setelah aku melewati sungai dengan bebatuan besar, aku terduduk di salah satunya. Memainkan air dan merenungkan gemuruhnya. Menyisir tiap aliran darah yang ikut membeku. Aku melihat jari tanganku. Mulai lagi menghitung. Empat! Demi penguasa semesta, empat ini aku lempar ke tepi! Seraya menciptakan dentuman lewat ketukan kayu, aku menulis mantra-mantra yang menyihir seluruh pintu masuk rimba. Membakar nadi. Mengunci hati.

Durjana. Ini durjana!

Kau yang sedari tadi diam seperti orang dungu, apa yang kau lakukan dari kejauhan? Tatapanmu itu tak 'kan mampu membuat aku menyimpan peti yang di dalamnya aku simpan luka! Jika kau ingin berperang, selamatkanlah yang lain. Ini bukan perangmu, bedebah! Kau pun tak perlu berlagak seperti penyelamat. Kau pergilah menjauh. Aku sedang merangkum dunia ke dalam kepalan tangan dan menaburkannya di lautan kelak. Empat! Bayangkan itu! Satu tanganku saja hampir habis menghitungnya. Aku benci pendusta. Aku harus menyeretnya ke dalam gua paling jauh. Mendorongnya cepat. Agar mereka tahu, ada ular yang jauh lebih kuasa.

Durjana. Ini durjana!


Bandung, 17 Juli 2011

Tidak ada komentar: