Ucapannya melangit. Kadang menjijikan. Seringkali tajam dan menyakitkan. Dia hidup dalam ilusi yang dibuatnya sendiri. Dia tak butuh apa pun. Dia tak ingin apa pun. Dia manusia, tentu. Dia berjalan di atas kakinya dan lupa pada sepatu yang ternyata buah kerajinan orang lain.
Ini memang tentang dirinya. Sebut sajalah dia yang lupa pada namanya sendiri. Dia tidak ingat bahkan pernah dilahirkan atas percintaan menggebu anak manusia. Dia tidak ingin tahu makna nafas yang memburu kala orang-orang itu bercinta. Dia enggan bicara tentang cinta dan kematian. Dia belum mau memahami arti tangis pedih dia-dia yang lain. Dia bukan bodoh. Dia tak mau tahu.
Dia yang membuka helai demi helai buku usang kotor dan aku tawarkan lap. Dia tidak bicara apa pun, tetapi melempar kain itu ke bawah. Tepat di kuku kelingking. Aku tak ambil pusing, lalu menaruhnya kembali di sudut.
Oh, aku lupa tentang warnanya. Dia menyatu dengan pekat. Dia ingin serupa kelam. Hitam-hitam itu bersaing dengan kayu dan berujung jadi abu. Aku tahu perih baginya, namun ia berkata tak akan pernah pergi bertemu orang-orang berpakaian putih. Aku malas bercanda bertukar dahaga. Aku bukan peminum yang mabuk akan renungan sementara tak berefek pada malam.
Aku meminum anggur sambil mendengar dia mengoceh di seberang sana. Aku sedang terluka karena bagian-bagian yang belum sempat aku utarakan padanya. Dia tak mau tahu. Dia kembali sibuk dengan sulaman-sulaman ilusi barunya dan memaksaku untuk tahu. Ah, ternyata dia mulai membutuhkan sesuatu. Dia bukan lupa pada dirinya. Dia hanya terjebak dengan tarian-tarian penari telanjang. Dia ingkari sekali lagi dan aku merapikan baju ke dalam koper menuju stasiun.
*terinspirasi dari pernyataan salah satu tokoh Tentang Dia, katanya, "lo boleh ga percaya sama orang, tp kalo lo ga percaya sama orang yang percaya dan sayang dengan tulus ke lo, itu beda. Itu pengkhianatan namanya.."
Kepada dawai-dawai gitar yang mulai menjauh, bawa aku merangkak menuju senja yang aku ludahi!
Bandung, 27 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar