Rabu, 15 Agustus 2012

Kerikil Hitam-2

Ini hati. Oh, hei, kau, jangan menangis. Aku enggan masuk ke dalam titik-titik palsu yang terulang lagi. Sudah saatnya sapu tanganku dicuci karena bau keringatmu. Aku terluka karena tangismu yang merasa sendiri. Kau tak pernah dengarkan aku. Lantas, apa maumu? Kau tak sendiri jika menarikku masuk ke dalam jilid ceritamu. Dan kau masih rasakan kesunyian itu? Luar biasa! Aku bertepuk tangan dari sini.

Aku pun begitu awalnya. Namun, aku cepat menyadari bahwa aku bodoh. Aku akui itu. Ah, sebelum masuk ke surga pun, kita hidup di dunia dulu. Aku enggan bermimpi tentang surga rekaan kawanan berjanggut. Aku tak ingin menawan ilusiku sendiri. Siapa tahu aku di neraka dan kita bertemu disana. Aku akan meminta izin pada malaikat untuk mengejekmu terakhir kali.

Hei, jangan tertawa saja! Aku jujur pada diriku. Kau tak berani bicara atas hatimu, bukan? Dan dengan bangga kau bicara tentang surga? Kau tak tahu betapa pedih ucapmu kepadanya tentang aku. Eh, kau tak tahu bahwa aku tahu. Kalau begitu aku saja yang tertawa.

Hmm, cangkir kopiku ada di depan. Aku bawa, ya? Oh, lihat, aku meminta izin padamu. Nampaknya, menarik jika kopi ini berpindah ke mukamu. Tenang. Tak seberapa dibanding panasnya ucapmu yang aku kumpulkan dan membuatku sempat lupa bahwa aku masih punya hati. Tak sepadan? Tentu, aku akui saja lagi. Karena sesungguhnya aku tak ingin itu. Membuatmu tersekap, aku tak berani. Tapi, kau menyalibku dengan bahasa.


*terinspirasi dari pernyataan salah satu pemikir Prancis yang saya lupa namanya. Katanya, friends are the family that we chose for ourselves..

Selamat datang para politisi! Mari minum kopi yang kau minta aku buat sebelum aku siram ke wajahmu!


Bandung, 27 Mei 2010

Tidak ada komentar: