Aku duduk di sini. Memangkas ilalang kecil-kecil. Mengitari naluriku sendiri. Lalu, menyusun sebagian remah hati yang tercecer sejak ada dia dalam rahimnya. Ada hasil nafasmu yang tersenggal, peluhmu yang deras, dan erangannya yang liar. Ada desahannya yang tersimpan rapi di bantal itu. Ah, bantal. Kita sering menghabiskan waktu di bantal yang sama, bukan? Bantal yang sempat kau beri nama dengan dungu itu.
Aku menggambarkan seluruh cerita jalang itu. Kisah yang kau tawarkan padaku untuk aku ludahi! Jika malam pun menjadi bungkam atas segala tanda kecil lelah manusia usai bercinta, aku robek seluruh bingkainya dan melemparnya ke sudut pintu! Menyakitimu, aku tak kuasa. Demi malammu yang penuh dengan degup cepat. Untuk tiap detik persenggamaan manusia yang lupa semesta. Demi seluruh bongkahan yang dulu pernah ada. Ingin menunjuk mukamu dan meletakan seluruh asa yang utuh lalu jatuh di sebuah panggilan ayah!
Permisi, adakah cinta di sana? Adakah rasa di sanubari saat perlahan kau menenggelamkan kepalamu di sela nafasnya yang memburu? Adakah aku yang malah tercermin di wajahnya itu? Saat dorongan tubuhmu semakin cepat dan keringat yang membaur, tak sekejap pun aku sudi mengakuinya. Bukan aku yang berbaring lunglai saat kau menghembuskan nafas panjang sebagai tanda kebinalan itu usai. Ya, binal! Aku ucap binal karena ada dua hati yang terduduk tolol di tepi tempat tidur. Sakit, lelakiku. Tahukah kau arti kata itu?
Sebentar lagi dia lahir ke bumi, bukan? Jangan pernah bacakan puisiku padanya, ingat itu.
Bandung, 30 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar