Khutbahku tentang rindu. Menelisik di tiap degup yang sembunyi di balik keluh. Seringkali merindu deru nafas itu. Berpeluh mengejar nadi yang malu-malu mengucap desah. Kau perlahan menyingkap gaun yang gamang terlempar di lantai. Menuju sudut-sudut kala remang mulai terasa akrab. Ada hangat yang senantiasa hadir saat kita saling memagut. Menorehkan kata yang kaku di ujung bibirmu.
Bagaimana denganku? Aku menukil tiap kancing kemeja hitammu. Sesekali terburu. Kadang-kadang melambat. Kita beradu di tawanan dewa dewi. Duhai, jika pun rasa tak kenal usai, mengapa kita tak hendak bermuara dalam sebuah cumbuan hangat semesta?
Tatapanmu. Kita roboh dalam geliat sanubari yang tak bosan menggetarkan rindu. Kau menggelinjang di antara musik kesekian haluan jalan kita. Ada tetes suci berakhir di sana. Aku beranjak menuju tepi tempat tidur. Mengambil pelan titik-titik harap yang sedari dulu kita gambarkan di kaki langit jingga. Menggenggam erat seluruh kata yang tertahan di pelupuk matamu. Kita akan bersahabat dengan jarak yang sementara, lelakiku. Ini hanya bagian kecil dari selaksa cerita yang kita kumpulkan saat tongkat itu menghujam tanah dan kita merenta.
Lebih baik tarik selimutmu. Aku masih berbaring di samping. Mencoba menidurkan segala tangis dan menggantikannya dengan kedipan-kedipan baru hasil dingin yang dicipta malam. Ada usapanku di punggungmu, bukan? Kita barangkali dibungkam adat-adat yang latah. Aku masih bertahan dengan rumusan kental dalam kotak yang cedera. Aku yang masih ingin tahu tentangmu. Tentang sesuatu yang kau simpan di lemari musim. Aku menyimpan catatan merah jambu yang kau beri dalam malam membalas empat belas waktu. Kitab mantra Januariku ada untukmu. Sekarang tidurlah. Satu kecupan manis menutup salamku.
Bandung, 11 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar