Mengulang
ucap rindu. Menggagahi tiap celah di hati dan memaksanya untuk jujur. Dudukkan
prahara itu di muka jerami, lelakiku. Kita bakar bersama titian sepi yang
gelagatnya sanggup menjepit mimpi.
Sekabut
perih menelusup masuk mensyukuri tiap tetes embun. Pongah dan tertawa lepas.
Kita harus berdamai dengan pagi. Menyalami anak-anak puisi yang mengkebiri
sendu. Ada sakit di namamu saat meracuni senja. Diputar lagi seluruh kedip yang
terpejam membayangkan sosokmu dalam inchi. Telanjang bersama menyatu dengan
samudera. Tengadah berdua menantang angkasa. Bercinta dalam waktu. Memacu kata
yang kita sebut dengan sukar.
Sajian-sajian
penghantar kidung penuh puji ikut hadir masa itu. Kita duduk khidmat. Sibuk
mencari kata yang diterjemahkan sebuah pelukan suci dan genggaman tangan penuh
tanya. Kapan lagi kita sertakan dendang dalam elegi?
Kemudian
kau berbaring. Mengumpat tentang hukum yang dungu membiarkan kita terpisah
adat. Jauh disana kau katakan bahwa hati tak kenal luruh di bawah payung
berhala. Aku merindu wangi khasmu kala bernyanyi dan parau suaramu menjelang
tidur.
Sesaat
sebelum turun nafas yang mengacu pada langit, aku ucapkan sekilas syair yang
mengintip di jendela.
Bandung, 25 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar