Jumat, 17 Agustus 2012

Sepenggal Bias-16

Mengulang ucap rindu. Menggagahi tiap celah di hati dan memaksanya untuk jujur. Dudukkan prahara itu di muka jerami, lelakiku. Kita bakar bersama titian sepi yang gelagatnya sanggup menjepit mimpi.

Sekabut perih menelusup masuk mensyukuri tiap tetes embun. Pongah dan tertawa lepas. Kita harus berdamai dengan pagi. Menyalami anak-anak puisi yang mengkebiri sendu. Ada sakit di namamu saat meracuni senja. Diputar lagi seluruh kedip yang terpejam membayangkan sosokmu dalam inchi. Telanjang bersama menyatu dengan samudera. Tengadah berdua menantang angkasa. Bercinta dalam waktu. Memacu kata yang kita sebut dengan sukar.

Sajian-sajian penghantar kidung penuh puji ikut hadir masa itu. Kita duduk khidmat. Sibuk mencari kata yang diterjemahkan sebuah pelukan suci dan genggaman tangan penuh tanya. Kapan lagi kita sertakan dendang dalam elegi?

Kemudian kau berbaring. Mengumpat tentang hukum yang dungu membiarkan kita terpisah adat. Jauh disana kau katakan bahwa hati tak kenal luruh di bawah payung berhala. Aku merindu wangi khasmu kala bernyanyi dan parau suaramu menjelang tidur.

Sesaat sebelum turun nafas yang mengacu pada langit, aku ucapkan sekilas syair yang mengintip di jendela.



Bandung, 25 November 2011

Tidak ada komentar: