Ada pesan singkat yang masuk saat aku tidur. Semalam tak tidur memang melelahkan. Tadi pagi aku habiskan untuk membaca tulisan beberapa orang teman. Aku bahkan tak sadar bahwa hari telah gelap. Terbangun pun karena gaduh penghuni lantai atas dengan nyayiannya. Aku membuka ponsel. “Is there still a lot of birds outside? Mother Theresa said, life’s like a song, just sing it. Si mie mie dor de tine”, begitu isinya. Masih kau. Perkataan Bunda Theresa itu sempat aku kirimkan pagi, sebelum kau berangkat kerja dulu. Burung-burung pun masih senantiasa gaduh dekat jendela, lelakiku. Tiap pagi dan sore mengisi ruang setengah kosong di sudut sana. Sudut hati yang belum tahu muara.
Sejenak aku terdiam. Tak terduga seluruh cerita yang masih linglung mencari titik akhir. Sebentar lagi usiamu tiga puluh tahun. Mereka-reka ulang tiap masa yang sesungguhnya. Hati-hati melangkah. Tubuh jiwa barangkali butuh istirahat sekejap dalam prahara. Ingin mencabut akar pahit dari hatimu hingga tak tersisa, lelakiku. Tunggulah sebentar, aku sedang mencari tahu caranya. Sudikah?
Merasuk ke noktah paling dalam semacam onak paling jalang. Emosi kita seringkali larut mengurai seluruh genderang keributan yang rusuh menemui akhir dan kita pun selalu menahannya keras. Merindu bercengkerama dan melukis langit. Menemukan bintang paling terang dan menamainya satu. Sekecil apa pun rasa yang tersisa di ujung senja, aku masih sanggup memungutnya rapi.
Apa kabar Sentani, lelakiku? Bersamamu mengangkangi geliat resah yang belum usai. Kekuatan ini muncul saat aku memegang pena dan menuliskan namamu di tiap helainya. Melewatkan separuh putaran malam yang mengunjungi rumahmu di kejauhan. Aku di sini, kau di sana. Merambah seluruh hasrat untuk menarikmu kembali untuk bercinta hingga pagi. Menjadi manusia yang menantang derai tawa. Lihat ujung jariku. Arahnya menunjukmu. Menyambutmu di tepi bukit. Aku menunggumu dengan sebatang rokok di tangan. Bisakah kau berlari lebih cepat?
Bandung, 16 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar