Kau sedikit terlambat, sesalku. Aku sangat terlambat. Kita memang terlambat mengumpulkan lagu rindu yang menumpuk di ujung pintu. Mempersembahkan seonggok jerami kering untuk sekadar menambatkan mimpi pada sisa-sisa angin. Kita enggan memalingkan wajah pada neraca gundah yang menyentuh sekujur tubuh.
Kita terlambat menuai janji lalu. Ah, kita sibuk menerka. Mereka-reka. Membaca garis-garis takdir. Seolah dungu menemukan titik akhir, kita hanya bermain dengan hujan. Kita gagap menghitung keniscayaan yang penuh ilusi tanpa kisi-kisi. Kita hanya mampu marah tanpa meledakannya pada sumbu di sudut sana, lelakiku.
Dari kejauhan menggoda-goda, berceloteh manis. Siapakah pemilik senyum itu?
Bandung, 22 Agustus 2012
1 komentar:
Selalu ada warna penyesalan dalam tulisanmu, Tan :(
Posting Komentar