Berlebihan pun aku tak peduli. Waktu itu serasa masuk ke belantara entah benua mana. Jauh dari angkutan resmi yang disediakan pemerintah. Sepuluh jam perjalanan. Berhenti di terminal entah apa namanya. Sebelumnya, panas udara pantai bicara padaku tentang makna kesendirian yang lebih pekat karena aku bersamanya. Seorang pria pembenci prolog. Jarang berucap dengan tatapan teduh. Seorang laki-laki yang aku tunggu sejak lima tahun lalu dengan kebersamaan hampir enam musim.
Kami pecinta kesunyian. Kala itu terik khas cuaca pantai mencoba berkenalan denganku. Tak henti laki-laki itu menggenggam tangan menuju persinggahan selanjutnya, sejak awal kami merasakan hiruk pikuk bus rakyat. Makin lama jumlah penumpang makin minim. Malam pun bertandang memeluk pijar-pijar hati yang tak urung menyala. Entahlah, seakan waktu bersahabat selamanya dan dia mengajakku ke pantai malam itu juga. Sepi. Gelap. Kami hanya berdiri. Menikmati debur dan angin tanpa bicara. Aku rasakan itu! Seolah tak bosan menggertak, cinta itu hadir dan mengisi kotak-kotak jiwa yang bingung mencari tepi.
Esoknya, canda datang silih berganti. Dokumentasi foto dan video, dia susun mengikuti langkah riang. Sesampainya di stasiun, hanya ada ojek dengan jarak tempuh yang membuatku salut akan perjuangan mereka. Tapi, tunggu. Aku menahan nafas ketika memasuki jembatan bambu yang cukup panjang dengan sungai tenang di bawahnya. Nampak dalam. Airnya berwarna hijau karena berasal dari air terjun yang mengikis lumut saking dahsyatnya. Betapa aku merindukan tempat itu kini. Belum selesai kekhawatiranku, sekumpulan anak pramuka menghalangi jalan kecil menuju titik akhir jembatan. Dan akhirnya, aku seperti kehilangan keseimbangan ketika tak lama kemudian, aku melihat perahu-perahu nelayan berjejer dengan hamparan biru! Atas nama penggenggam keindahan gemerlap semesta, I just wanna say, God, I love him so much!
Aku perlahan turun dari motor dan melihatnya tersenyum penuh arti padaku. Dia kembali menggenggam tangan dan berbisik tepat di telingaku, hingga hangat bibirnya cukup membuatku terpejam sebentar. “I told you, let me take you there someday. And now, we’re here, my lovely princess”, katanya. Entah ada keutuhan dari mana, yang jelas aku rasakan itu! Aku bahkan menahan ledakan emosi ketika ingin tiba-tiba memeluknya erat. Menghempaskan perih dan menangis atas sebuah nuansa percik-Nya.
Aku duduk sendiri di sana dan dia menatapku dari jauh. Seolah membiarkan aku yang larut dalam pekik rasa yang meluap. Hanya aku yang duduk di sana. Pantai kecil. Tidak tersentuh media dengan hanya tiga hotel kecil berdampingan. Hari itu Senin. Sepi. Kosong. Hanya aku dan dia. Tak ada pengunjung lain karena kami masuk ke hotel-hotel kecil itu. Satu di antaranya sedang direnovasi, sehingga tidak bisa dipergunakan.
Sorenya, dia mengajakku ke atas bukit. Oya, ada satu bukit kecil di pantai itu. Dia menggendongku menujunya. Kami tertawa lepas. Sesekali bernyanyi. Sesampainya di atas puncak, kami menatap laut. Larut dalam imajinasi masing-masing. Lagi dan lagi tanpa bicara. Akhirnya, rombongan salah satu universitas swasta di Bandung tiba. Itu pun hanya 18 orang. Mereka ramai bersuka cita dan langsung sibuk dengan papan selancarnya. Bising di bawah bukit. Kami? Membisu. Hanya sesekali saling menatap dan menggenggam erat.
Lalu dia bercerita, dua tahun lalu di belakang bukit masih ada pasar masyarakat setempat. Namun, kini tinggal puing. Katanya, ada kebakaran beberapa minggu lalu. Aku pun melihat keheningan yang dipaksa di sela reruntuhannya. Sedikit kami berdiskusi tentang pemerintah dan perilakunya yang biasa membakar pasar tradisional dengan bangunan baru hasil pesanan investor. Pantai itu hanya memiliki tiga hotel kecil. Namun, sekarang dua di antaranya dimiliki orang asing yang tentu bertarif mahal. Tidak seperti tahun-tahun lalu saat masih dimiliki penduduk. Hanya tinggal sebuah restoran kecil milik salah seorang warga yang tersisa. Harganya pun berbanding terbalik dengan hotel-hotel itu.
Dia menatapku. Tahun demi tahun terlewati, namun aku enggan menarik kesunyian hadir ketika suatu saat kita jauh, katanya. Dia mencium tanganku dan mengajakku berdiri. Langsung menatap mercusuar yang gagah berdiri di tengah. Dia mengajakku berenang menuju tempat itu. Seperti anak-anak yang tak peduli akan jeram, tapi mereka tahu di sanalah surga, sahutnya. Dia memelukku sebentar, kemudian berlari ke bawah bukit dan menantangku untuk mengejarnya.
Malam itu bulan penuh. Terima kasih kepada Sang Pecinta atas kejutan demi kejutan yang ada hari ini. Tidurlah, lelakiku. Esok ilusi kita usai, tapi mimpi yang kita simpan menyatu dalam naungan kesederhanaan yang kau ajarkan padaku. Kau dan aku sama-sama hilang. Tak terpisah. Kita satu dalam entitas-Nya yang tunggal. Agung. Mengagumkan. Dalam cinta. Dalam cahaya tanpa warna. Tanpa gundah. Hanya melodi.
Selamat malam, lelakiku. Aku bangunkanmu esok pagi. Ilusi ‘kan terhenti. Aku ingin satu malam saja menutupnya dengan bercinta menuju samuderamu. Atau mungkin ilusi kita tak pernah usai sebelum singgah di Bunaken dan berkeliling Sentani? Atau bahkan lebih dari itu…
*waktu itu untuk pertama kalinya saya menangis di depan seorang laki-laki atas letupan nuansa. Pertama kalinya saya mempunyai dokumentasi lengkap dalam perjalanan bersama kaum Adam. Pertama kalinya saya dihadiahi video klip Plain White’s, Let Me Take You There. Pertama kalinya saya merasa utuh sekaligus tidak berdaya atas sentuhannya. I know a place that we can go to. A place that no one knows you. They won’t know who we are. Let me take you there. I wanna take you there.
Atas nama senyawa jiwa dalam jingga bersama senja temaram shahih. Sayup pagut sapamu bergurau dengan dinding tak bernama. Tak perlu nama. Atas mahkota yang terdekap, kerajaanku menyatu dengan simpul kegaiban jagat raya di matamu, lelakiku.
Atas nama senyawa jiwa dalam jingga bersama senja temaram shahih. Sayup pagut sapamu bergurau dengan dinding tak bernama. Tak perlu nama. Atas mahkota yang terdekap, kerajaanku menyatu dengan simpul kegaiban jagat raya di matamu, lelakiku.
Bandung, 4 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar