Pernahkah kita berpikir alasan untuk melanjutkan kehidupan ke arah yang lebih mapan? Berpasangan, misalnya. Menikah. Apa makna yang ada di baliknya? Hanya sekedar status sosialkah? Hanya karena mengikuti hasrat liar agar terkerangkeng dalam koridor "sah"? Hanya tuntutan keluarga atau lingkungan? Namun, pernahkah kita berpikir alasan paling esensial di balik hal-hal normatif semacam itu? Hal normatif dengan keterbatasan argumen, sehingga terdengar begitu memuakan. Hal normatif yang dibalut dengan gaya konservatif yang mengungkung terkuaknya makna.
Mengapa kita hidup? Untuk apa kita berlalu lalang di dunia yang serba menuntut kesempurnaan? Padahal kita sendiri tidak pernah tahu maksud dari kesempurnaan tersebut. Dogma-dogma berkeliaran memasung pemikiran. Doktrin-doktrin beterbangan mempersempit pandangan. Semua gejala kemandulan pemikiran terus menerobos masuk tanpa henti.
Tahukah kita bahwa hidup adalah untuk menyempurna? Terus menjadi lebih baik. Namun, bukankah kesempurnaan adalah wujud dari tidak memiliki kekurangan? Segala sesuatu bergradasi. Begitu pula kesempurnaan. Maka, kesempurnaan pun akan berubah seiring dengan tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan itu berkonsekuensi. Artinya, membutuhkan implementasi nyata. Fase implementasi dibentuk melalui kelengkapan pengetahuan, sehingga praksisnya pun akan terlihat setelah pengetahuan tersebut berintregritas dalam diri.
Manusia selalu membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk menggenapkan kehidupan. Esensi segala sesuatu yang dilakukan manusia adalah untuk dirinya sendiri. Kita membutuhkan partner dalam hal apa pun. Dalam hal ini kita kerucutkan ke pernikahan. Titik tolak manusia dalam melakukan sesuatu adalah kenyamanan. Sebelum masuk ke dalam tingkat kenyamanan--yang sesungguhnya sangat subjektif-- kita perlu mengetahui sesuatu tersebut. Kelengkapan pengetahuan menuntut untuk beradaptasi dalam situasi yang kita hadapi. Beradaptasi bukanlah menyerah terhadap realitas, namun bagaimana cara kita untuk tetap bisa menuangkan ide dengan bahasa yang digunakan dalam kondisi sosial tertentu.
Kenyamanan sebagai barometer dalam tindakan manusia membutuhkan unsur keseimbangan. Ketika manusia mencari sesuatu di luar dirinya untuk kelangsungan hidupnya, maka keseimbangan akan menjadi pertimbangan. Keseimbangan dalam pemikiran, emosi, dan tingkah laku sangat berperan penting. Hal tersebut menuntut kita untuk memilih pasangan hidup. Menyatukan jiwa dalam koridor menyempurna menjalani kehidupan karena cinta-Nya. Melanjutkan keturunan akan konsekuensi membangun masyarakat dalam sekup kecil. Meneruskan ide dalam rangka berjuang atas semangat mencinta tanpa pamrih. Bukankah itu alasan kita berpasangan? Kita membutuhkan sesuatu yang bisa melengkapi diri dalam sebuah keseimbangan. Keseimbangan yang kita dapat dalam kesanggupan menekan arogansi dan egoisme diri untuk kehidupan yang lebih bermakna.
Pernikahan bukan sekedar status sosial. Pernikahan bukan sekedar penyaluran hasrat sah. Pernikahan bukan sekedar hal normatif semu. Pernikahan adalah ajang saling mengerti dan melengkapi dalam rangka terus mendaki kesempurnaan untuk gradasi yang lebih tinggi.
Bandung, 24 April 2008
Mengapa kita hidup? Untuk apa kita berlalu lalang di dunia yang serba menuntut kesempurnaan? Padahal kita sendiri tidak pernah tahu maksud dari kesempurnaan tersebut. Dogma-dogma berkeliaran memasung pemikiran. Doktrin-doktrin beterbangan mempersempit pandangan. Semua gejala kemandulan pemikiran terus menerobos masuk tanpa henti.
Tahukah kita bahwa hidup adalah untuk menyempurna? Terus menjadi lebih baik. Namun, bukankah kesempurnaan adalah wujud dari tidak memiliki kekurangan? Segala sesuatu bergradasi. Begitu pula kesempurnaan. Maka, kesempurnaan pun akan berubah seiring dengan tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan itu berkonsekuensi. Artinya, membutuhkan implementasi nyata. Fase implementasi dibentuk melalui kelengkapan pengetahuan, sehingga praksisnya pun akan terlihat setelah pengetahuan tersebut berintregritas dalam diri.
Manusia selalu membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk menggenapkan kehidupan. Esensi segala sesuatu yang dilakukan manusia adalah untuk dirinya sendiri. Kita membutuhkan partner dalam hal apa pun. Dalam hal ini kita kerucutkan ke pernikahan. Titik tolak manusia dalam melakukan sesuatu adalah kenyamanan. Sebelum masuk ke dalam tingkat kenyamanan--yang sesungguhnya sangat subjektif-- kita perlu mengetahui sesuatu tersebut. Kelengkapan pengetahuan menuntut untuk beradaptasi dalam situasi yang kita hadapi. Beradaptasi bukanlah menyerah terhadap realitas, namun bagaimana cara kita untuk tetap bisa menuangkan ide dengan bahasa yang digunakan dalam kondisi sosial tertentu.
Kenyamanan sebagai barometer dalam tindakan manusia membutuhkan unsur keseimbangan. Ketika manusia mencari sesuatu di luar dirinya untuk kelangsungan hidupnya, maka keseimbangan akan menjadi pertimbangan. Keseimbangan dalam pemikiran, emosi, dan tingkah laku sangat berperan penting. Hal tersebut menuntut kita untuk memilih pasangan hidup. Menyatukan jiwa dalam koridor menyempurna menjalani kehidupan karena cinta-Nya. Melanjutkan keturunan akan konsekuensi membangun masyarakat dalam sekup kecil. Meneruskan ide dalam rangka berjuang atas semangat mencinta tanpa pamrih. Bukankah itu alasan kita berpasangan? Kita membutuhkan sesuatu yang bisa melengkapi diri dalam sebuah keseimbangan. Keseimbangan yang kita dapat dalam kesanggupan menekan arogansi dan egoisme diri untuk kehidupan yang lebih bermakna.
Pernikahan bukan sekedar status sosial. Pernikahan bukan sekedar penyaluran hasrat sah. Pernikahan bukan sekedar hal normatif semu. Pernikahan adalah ajang saling mengerti dan melengkapi dalam rangka terus mendaki kesempurnaan untuk gradasi yang lebih tinggi.
Bandung, 24 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar