Rabu, 15 Agustus 2012

Untuk Bumi-4

Aristoteles mengklaim  bahwa manusia adalah zoon politicon. Makhluk politik. Makhluk yang terus berinteraksi. Mahkluk yang selalu mempunyai rencana dan strategi yang berujung pada eksistensi dirinya. Makhluk yang membutuhkan bargaining position untuk melancarkan hal tersebut. Kita dituntut untuk menawarkan kemampuan dan kualitas agar tujuan tercapai demi penghargaan dari orang lain. Alamiah, bukan? Tidak ada yang salah selama semua itu dilakukan dengan cara yang benar.

Lalu, mengapa harus melibatkan perasaan dalam pemenuhan tujuan tersebut? Subjektivitas tidak pernah dihukumi. Masuk ke dalam kondisi rumit dan menyakitkan. Konflik mulai timbul. Tersudut dalam kungkungan norma dan terjebak dalam situasi dilematis. Lagi-lagi membutuhkan strategi untuk mengatasinya. Perlu peranan pikiran yang jernih agar konflik terselesaikan.  Tak ada gunanya menutup diri.

Kita bergelut dengan pemikiran sendiri  dan desakan lingkungan.  Gelisah untuk mengambil keputusan.  Namun, lebih baik gelisah dalam mencari kepastian  setelah menemukan sesuatu daripada nyaman dalam ketidaktahuan yang membombardir  kemerdekaan diri, bukan?  Ketakutan kadang terlintas dalam keletihan nurani. Bukankah keseimbangan terjadi setelah timbulnya chaos? Bukankah menyadari kesalahan di masa lalu bisa dijadikan cermin agar kegagalan masa depan dapat diminimalisasi?

Konsekuensi pengetahuan menuntut kita untuk bijak. Tidak mudah bertahan di tengah kecamuk konflik. Tidak mudah pula mengakui kesalahan, kegagalan, dan kekalahan. Kadang berbagi dengan orang lain pun menjadi alternatif untuk bersandar. Namun, bukankah kita lebih sering menjadikan ajang tersebut untuk sebuah penegasan? Penegasan tentang betapa menderitanya diri dan rasa sakit yang dialami.

Keadaan lelah dan menyerah begitu mudahnya menghampiri. Entah kenapa kita pun seringkali larut di dalamnya. Lalu, apakah ada kebanggaan atas sikap menghindar dan menjadi pecundang macam itu? Alur hidup memang fluktuatif. Pernyataan "kita hanya manusia" acapkali menjadi sebuah legitimasi naif dalam kemandulan kreativitas menyelesaikan masalah.

Terlintas pertanyaan sederhana yang menjebak dan menghantam keberanian diri. Sampai kapan kita akan menyerah tanpa menghasilkan apa-apa? Padahal, banyak orang yang membutuhkan uluran tangan dan menyanjung kita. Mengapa kita sendiri merasa tidak berguna di tengah kekaguman tanpa pamrih tersebut? Hidup masih terus berjalan untuk mencapai gradasi lanjut kesempurnaan diri, bukan? Selamat berjuang!


Bandung, 7 Mei 2008

Tidak ada komentar: