Lantas aku ingin berpikir sembari duduk di pinggir jalan dengan bau knalpot. Tentang kamu. Tentang marahnya kita pada ribuan semangat yang jumawa berdiri antara resah atas nama adat yang salah kaprah.
Lalu aku kembali. Menyusur trotoar masih juga dengan bau kendaraan yang membuat sesak. Tak hanya tentang kota, tapi juga kamu. Di kota ini kita melucuti satu per satu khayalan tentang bau amis dosa.
Oh, ya, dosa. Sehina itu barangkali gambaran rasa yang melempar sepi tepat ke dada. Bolehkah sedikit saja aku membela diri dan mengatakan bahwa aku tak peduli pada kecaman mereka, lelakiku?
Kita tahu bahwa sejauh sunyi yang mengabdi pada ilalang, aku selalu jatuh cinta pada seluruh getar dalam nadimu. Aku tak kehilangan cipta untuk terus menuliskanmu pada serat kayu yang menua. Merindu. Bahkan selalu gusar dalam riuh gemuruh mengingatmu. Jikapun mungkin, boleh meregangkan perih sebentar saja. Sesama rasa yang tahu jerit, aku ingin pulang menuju dekapmu yang agung.
Bandung, 25 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar