Apa itu di balik gusarmu waktu lalu? Aku ingin pulang menuju tempat yang kau sebut dengan surga, lelakiku. Mengasuh sejumlah harap yang sempat membatu. Di sana kita mengundang rasa dan tak perlu lagi saling mengajari tentang bahagia. Dalam namamu, aku tersipu malu meredam tawa.
Lalu kita membisu atas diri yang lupa pada secarik persembahan hati yang luput dari cemooh masa. Aku hanya ingin kau mengerti bahwa cinta enggan menunggu dan rindu itu penuh angkuh.
Mari kita bicara dengan nada yang mencantik tanpa harus ada luka yang memaksa ikut serta, lelakiku. Kau dengan baju hangatmu dan aku dengan jaketku. Bisa saja ada dingin yang meradang kala tatap bertemu tatap. Bisakah kau lepaskan keraguan yang selama ini memasung ikrar di syair kita yang menjadi prasasti di langit kamarmu? Ini lagu yang sama-sama kita tunggu.
Puisi itu mengalun dalam riuh serangga malam yang menunggu pagi. Kau baru saja tersadar bahwa hujan menimbun rasa yang entah menyulut apa. Lalu, bisakah kita memudar dalam jeram yang tak pernah dinamai sejenis luapan apa pun? Aku ingin kau pelan-pelan mencintai kemilau jubah agung dan topi suci yang sebentar lagi aku pakai untukmu agar usai seluruh pinta.
Bandung, 20 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar