Dulu kita pernah bersepakat untuk tidak membahas satu hal. Hampir dua tahun berlalu dan kita hanya membicarakannya tiga kali saja. Jangan tergesa menarik mimpi. Aku ucapkan itu padamu dan tadi pagi aku ingatkan lagi. Peluang itu milik kita tentu. Namun, kita bisa menyusun balok-balok kecil dulu. Membuatkan mainan anak-anak. Kita pun bisa mengatur lego dengan cantik, bukan? Warnanya hanya beberapa. Bentuknya hanya sedikit. Tapi dari sana kita bisa membuat apa pun. Ada miniatur kota, robot, atau bahkan dinosaurus.
Gambarmu buram dan suaramu tak jelas. Sesekali gaduh. Gerakan tampak tidak natural. Kotak-kotak. Obrolan terhenti sesekali. Kita sama-sama mengecek koneksi. Ah, ya, hubungan hati kita pun sesekali tidak sejernih sambungan langsung internasional. Matamu sayu, bintang barat dayaku. Hanya itu yang seringkali aku lihat. Kau mengeluh lelah dan acapkali mengutuk para politisi yang memainkan peran buruknya di negara. “Tak semua negara maju menyenangkan,” itu katamu selalu, “kami hanya dipoles sana sini untuk terlihat manis, namun nyatanya sama saja”.
Aku pun mengurut garis-garis khatulistiwa yang semrawut. Tampak buruk dari luar dan membusuk di dalam. Tujuh jam membentang seakan menggoyangkan jari telunjuknya. Kau tak tidur, sedangkan pagiku tersita hingga jam makan siang. Tiga atau empat kali seminggu kita lakukan itu. Mengurai gelisah di sudut-sudut cerita. Mempertemukannya di awal ucap. Merangkai titik-titik abstrak yang meracau dan membenamkan kita dalam-dalam. Ya, kita barangkali hanyut dalam samudera dan tak peduli betapa jarak menjadi binal. Ketika pun kita akui, kita hanya sanggup terdiam. Sibuk menerka. Akankah waktu bisa kita giring menuju sebuah makan malam bersama lagi?
Dulu kau sempat berkata padaku, ajarkan aku lima kata per hari agar aku bisa berbicara dalam bahasamu. Aku pun menjawab, aku akan lakukan itu, sedangkan kau ajarkanku untuk membacamu. Itu saja. Membuka ulang perlahan kitabmu barangkali tak ‘kan sampai tamat. Kita tak perlu membaca hingga usai karena ketika akhir itu tiba, kita akan saling menghempaskan. Kita sudah sejak jauh-jauh hari sepakati itu, bukan? Atas iman kemanusiaan dan cinta bagi semesta, kita mencoba bernegosiasi dengan dunia. Kita belajar mengendapkan masa lalu.
Mungkin kita terlambat bertemu, sahutmu dulu. Tidak, kita tak pernah terlambat. Rasa bukan ilmu pasti yang penuh dengan angka dan bisa dikalkulasi. Rasa memiliki ruang dan waktunya sendiri. Dia melekat. Dia tak pernah datang dan pergi seperti orang lain bilang. Dia memilih sendiri. Kita bahkan tak pernah bisa mengatur alurnya. Kita tak bisa memilih siapa yang bisa menghampiri rasa.
Menebak harimu dan meretas haluan jalan kita, itu yang masih aku renungkan. Aku bisa membaca ribuan buku, jutaan koran, dan yang lainnya. Tapi aku tak bisa membaca pikiranmu saat kau membisu. Kita bukan lagi harus belajar membaca, tapi juga bicara. Mengutarakan maksud dengan santun dan bernyanyi dengan merdu. Kita sedang membuat cerita pendek yang masuk ke dalam buku kehidupan. Kita sedang membuat titik-titik yang suatu saat kita akan tahu garisnya. Ini kita. Kita yang mencoba menghantam peluang. Kita yang seringkali membebankan segala jawaban pada waktu, namun kita lupa menyiapkan pertanyaannya.
Setidaknya, kita masih bergenggaman tangan. Kita bukan mereka yang sibuk publikasi di hiruk pikuk maya atas sebuah kebersamaan dan saling menyahut. Ini kita. Kita yang enggan sama dengan mereka. Kita yang menuangkan mimpi dan merajutnya ke dalam puisi dan prosa. Kita yang mencoba berdamai dengan berselimut bersama. Kita yang ingin memerdekakan satu sama lain.
Siapa peduli dengan cerita mereka tentang altar temaram shahih, bintang barat dayaku? Kita bersama bukan untuk mereka. Bukan untuknya. Bukan untuk pesta pora. Bukan untuk sekedar sumpah agung. Kita bersama karena diri kita sendiri. Ikrar itu terlalu suci untuk dinodai ketakutan karena mereka. Terlalu indah untuk dicurangi hasrat bercinta. Kita bersama karena kita sendiri, aku ulangi. Untuk menyempurna bersama. Itu lebih dari cukup.
*terinspirasi dari puisi Deni Kurniadi, babak rencana-rencana.
Bandung, 17 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar