Belum genap sebulan, pertengkaran kecil yang masih aku ingat jelas itu terjadi. Dini hari waktu Indonesia bagian barat dan beberapa jam setelah makan malam waktu Inggris barat daya. Hitungan nol derajat yang dikiblati seluruh dunia. Satu jam kita mencoba membendung marah. Aku tekankan lewat intonasi, sedangkan kau lebih banyak diam dan sesekali berkata pelan.
Ini masalah remeh temeh yang tak perlu membuat kita nelangsa. Kita sama-sama tak perlu digurui untuk hal itu. Tenggorokanku mulai sakit. Ada yang terhenti disana. Jarak ini melelahkan, bintang barat dayaku. Ini pualam kita. Belum terukir apa pun. Bentuknya saja masih absurd. Kita perlu percantik. Masih banyak waktu yang kita punya.
Kita bicara lagi soal benua, samudera, dan segala hal yang bahkan membuat muak. Adakah aku memang harus mengakrabi waktu lagi? Ini bukan lagi tentangmu. Ini aku! Di akhir, kita lebih banyak diam. Aku melihat jam di meja. Pukul 4 pagi. Kau berkata, “seharusnya waktu tidurmu tak lagi terganggu. Biarkan aku saja yang tak tidur untuk sekedar bicara denganmu. Barangkali kau kelelahan. Bagaimana jika kau tidur dan belajar berpura-pura bahwa aku memelukmu disana?” kau mulai bergurau.
“Apa yang harus kau takutkan lagi?” tanyamu, “aku tak akan pernah pergi seperti yang dilakukannya padamu”
“Siapa yang kau bicarakan?” aku terusik.
“Kau pikir siapa? Laki-laki bodoh yang sempat kau bicarakan padaku. Pecundang itu bukan sifatku”
“Siapa yang menyuruhmu bicara tentangnya? Ini tak ada hubungannya dengan dia”
“Aku ada untukmu, tidakkah kau tahu itu? Aku seringkali tak tidur untuk menghabiskan malam bersamamu. Aku juga sering terlambat bekerja. Aku lakukan itu untukmu”
“Bisakah kau tak perlu memulai pembicaraan tentangnya? Aku bahkan tak pernah bicarakan hal itu lagi denganmu sejak dua tahun yang lalu. Aku tak pernah membandingkanmu dengannya,” aku mulai berdusta lagi.
“Lalu, apa yang kau minta? Aku tahu aku masih sulit membuatmu bahagia. Tapi, aku berusaha untuk itu. Tidakkah kau tahu bahwa ini menyakitiku, tiap kali kau bicara tentangnya dan seperti orang dungu aku masih juga mendengarkanmu? Puisi yang aku tulis dulu bukan untukmu yang perih menunggunya, tapi untukku sendiri. Itu yang tak kau sadari”
Aku mulai mencari tisu dan mengelap air mataku. Aku tak pernah tahu itu. Aku pikir kau begitu memperhatikan hubungan kami saat itu. Aku barangkali lebih dari naif.
“Aku menunggumu tiap malam. Aku memberikan pesan-pesan singkat yang tak pernah kau balas. Jika pun kita bertemu tak sengaja, kau membalas sapaku dingin. Tahukah kau bahwa aku sempat letih menunggumu?”
Aku terdiam lagi. Menahan isak dan berharap kau tak mendengarnya. Aku pun terluka. Bukan karena dia. Tapi, karena diriku sendiri. Mengayun sudah rasaku. Aku menyalakan rokok. Mencoba menenangkan pikiranku sejenak sambil mendengarmu bicara.
“Jangan menangis, sayang,” kau pelankan suaramu, “apakah aku membuatmu terluka?”
Aku masih tak menjawab. Aku lemparkan rokokku. Tak terbendung lagi. Aku terisak.
“Aku sedih jika kau begini,” sahutmu.
“Aku membutuhkanmu. Itu saja,” kali ini aku yang pelankan suara.
“Aku tahu,” katamu, “ada sebotol anggur disini. Jika kau di sampingku, aku hanya akan memberimu segelas saja. Tak akan lebih. Lalu, aku menyuruhmu tidur. Aku berjanji, esok pagi aku tak akan bekerja karena aku akan menemanimu. Aku tak ingin mendengarmu menangis lagi ketika aku jauh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Ini membuatku terlihat bodoh”
“Kau tidak bodoh. Aku yang terlihat bodoh”
“Ya, baiklah. Kau memang bodoh. Tapi, kau adalah si bodohku. Dan aku tidak ingin si bodohku menangis lagi,” kau bergurau lagi. Aku mulai tersenyum.
“Aku menyukai senyummu” katamu.
Tak ada kata maaf ataupun dimaafkan. Obrolan kita kembali seperti biasa. Aku bercerita tentang anjing-anjing, sedangkan kau bercerita tentang kegiatanmu. Dalam hati, aku tertegun. Aku bahkan tak ingat lagi kau bicara apa. Aku melihatmu di monitor. Suara di headphone-ku, aku kecilkan. Hanya logat kentalmu yang aku dengar. Aku sesekali tersenyum, saat kau tertawa. Entah apa yang kau bicarakan. Hatiku tak disini. Aku memutar lagi waktu. Puisi itu ternyata kau buat untuk dirimu sendiri. Puisi yang aku pikir kau buat untukku padanya.
*terinsiprasi dari obrolan pagi yang mengingatkan saya pada sebuah puisi tanggal 25 September 2009.
Burning away
Far away into my memories
Like a candle melting in my mind
You slowly drift out of my sight
I can't remember your touch on my skin
Or the places we have been
Drifting away to these older days
Without you shining on my soul
A final tear drops from my face
When the last memory is fading away
When my mind is no longer sane
And my lifetime has been in vein
A stranger by my bed frightens me
I am scared
If only I could remember this loved ones face
If I wasn't just one more sad case
Burning away
Far away into my memories
Like a candle melting in my mind
You slowly drift out of my sight
A teddy bear sits alone on the chair
With no memory from where it came from
Its expression smiles back at me
I don't know if I'll remember that expression too
They take me outside to see the sky
It's the first time I see the sunlight
Like a new born child, it’s new to me
It's first time I can be a bit happy
I don't know who I am anymore
I don't know who I want to be
I don't know where I want to go
I don't remember my own soul
Burning away
Far away, into my memories
Like a candle melting in my mind
You slowly drift out of my sight
By: Luke Perry
Bandung, 8 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar