Mungkin ada yang kau sembunyikan. Duhai, jika aku bisa membaca ruang-ruang hampa itu, barangkali kau tak usah mengaku ada tiang pancang yang sengaja memasung langkah. Harapku menjadi usai jika sebilah rasa mulai menusuk degup yang aku dengar sejak syair itu tertulis. Tak semudah yang kau tiupkan pada tiap benalu berwarna rupawan di goresan malammu, bintang barat dayaku. Sedikit demi sedikit hasrat ini milikmu. Aku rebahkan tiap hari kebersamaan kita di dalam pigura-pigura yang suatu saat mampu bicara.
Kau menghela nafas panjang, sedangkan aku menghirup segala perih. Senyum kita kali ini terhenti. Bolehkah aku sebentar saja mengusap pipimu dan jatuh dalam dekap agar kita sama-sama berbagi rasa yang sulit diterjemahkan kata? Aku duduk dalam geram kala masa lalu itu ikut hadir dalam cerita yang baru saja kita tetapkan mulanya. Lalu, dimanakah nilai kesucian rasa?
Bila saja dinding hatimu yang mulai dingin itu sanggup aku hangatkan dalam tungku puisiku, selamanya kita bisa menyederhanakan semesta yang kerap bergurau. Mari kita tujukan resah ini pada hujan! Agar segala penat larut dan menyatu dengan bumi. Bisakah aku memintamu untuk memberi tahu lipatan rapi yang kau simpan di lautan benak yang belum mampu aku jangkau? Beri tahu aku julukan yang kau lekatkan pada rantai pekat ini, bintang barat dayaku.
Jangan dulu tidur sebelum aku menyiapkan selimut jiwamu. Aku tahu kau hanya mencoba berdiri. Katakan padaku bahwa kau membutuhkanku memapahmu sekejap saja. Lihat aku yang masuk ke dalam matamu yang sayu. Aku tahu ada ingatan tajam disana. Sebelum itu sanggup menghujam, sisakan waktu agar aku bisa menangkap ujungnya saja. Itu pun tak mengapa.
*terinspirasi dari obrolan panjang yang melelahkan di suatu pagi.
Bandung, 29 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar