Pagi itu kita bicara. Mencoba membaca dengan cepat satu sama lain, meskipun aku tak mau kita terburu. Tak lagi mengeja. Kita tak lagi gagap. Kita bicara tentang keyakinan. Kita berbagi tentang Tuhan. Kau kecewa. Aku lihat itu dari sorot matamu. Aku dengar lenguhan itu. Kau bingung meretas jawaban. Kau benci kelaparan dan kemiskinan. Kau berpikir keras dengan semua perbedaan di semesta.
Jangan paksa dirimu mengenal-Nya dalam satu hari saja, bintang barat dayaku. Jangan pula bermimpi bisa menyapa-Nya lewat aku. Seumur hidup atau bahkan seusia semesta yang renta ini, tak ada waktu yang cukup untuk menafsirkan cinta-Nya Yang Agung itu. Akal kita sama, namun hati kita berbeda. Terhampar luas jalan menuju-Nya. Tak perlu kau ganti namamu, seperti kau tanyakan dulu. Bahasa milik-Nya juga. Jangan kau pikir bahasa tertentu dapat mengakui paling dekat dengan-Nya. Bahasamu itu hasil cahaya-Nya. Namamu pun begitu.
Jangan kau harap bisa beriman hanya dari bersimpuh, bintang barat dayaku. Dekati Dia dengan akalmu. Gugat Dia! Tanyakan diri-Nya! Bergumullah dengan risalah yang menggunung itu. Setelah kau berhasil menembusnya, barulah kau berpuisi pada-Nya. Kau akan merasakan kehadiran-Nya yang rupawan.
Kita ikuti kelokannya. Kita masuk ke dalam pekat yang menjadi saksi atas masa lalu. Namun, kita mencoba merangkak menuju-Nya. Dia benci pendusta, bintang barat dayaku. Apalagi yang lebih rendah dari pura-pura beriman pada-Nya? Kita tak perlu ikuti cara mereka. Usah kau pelihara jenggotmu. Tak perlu pula kita ganti baju. Tak ada gurun disini! Kita belajar mencintai-Nya lewat cara kita sendiri.
Ini aku yang hanya membantumu menawarkan keindahan. Aku yang hanya mengajakmu menuju pintu tarikan nafas yang kau pun tahu suatu saat berakhir. Kakekku pernah berkata, tangisan itu bukan jawaban. Cinta kita pada-Nya terlalu dangkal, ketika kita terjemahkan dengan tangis. Dia tak butuh itu! Kita hanya perlu mencintai-Nya tanpa rasa takut. Kita hanya butuh belajar cara untuk tak ingin imbalan apa pun dari-Nya. Mencintai-Nya itu lebih dari cukup. Kita tak perlu lagi bicara tentang surga. Dengan keberadaan kita, Dia niscaya memberi cinta-Nya. Kita hanya butuh belajar mencintai-Nya. Itu saja. Tuhan kita sama, simpan baik-baik ucapku.
Kau tak perlu mengganti namamu, aku ulangi itu. Di namamu ada percik cinta-Nya yang tak kenal batas bahasa. Dia ulurkan tangan cinta-Nya lewat orang tuamu yang dengan cinta pula namamu tercipta. Salam cinta bagi semesta, Luke Dominic Perry!
*terinspirasi dari obrolan pagi tentang teologi dengannya diiringi sebuah lagu Jim Brickman featuring Martina McBride-The Gift.
Bandung, 5 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar