Kamis, 16 Agustus 2012

Bintang Barat Daya

Hangat dengan sesuatu yang secara material tak terjangkau. Tapi tak disini. Di hati. Pelan-pelan mencuri waktu. Mengendap-endap mencari senyum. Barangkali itu yang ada dalam pikirannya. Lima musim berganti. Tingkahnya masih sama. Rasa yang berlebihkah? Entah. Sama-sama tak ingin tergesa menarik ucap.

Kini dia berkacamata. Katanya, pandangan mulai buram. Badannya tegap. Kulitnya putih. Pria berdarah asing nun jauh disana. Senang berpuisi dan bernyanyi. Berselera humor tinggi. Ada kalanya dia tenang seperti air. Keteduhan bola matanya yang biru serupa samudera itu mengisyaratkan badai tertahan. Tertunda. Seringkali sepi. Tak tersentuh.

Ajari aku bertutur, boneka saljuku. Kenalkan aku pada dinginnya udaramu disana. Setelah itu aku tunjukan keramahan khatulistiwaku.

Kau punya altar, sedangkan aku memiliki kain putih. Kita hidup di alam simbol. Semua ilusi. Bukankah realitas sesungguhnya ada setelah kematian? Tuhan kita tetap sama, bukan?

Mensemesta itu bukan perkara mudah, boneka saljuku. Ketika terucap olehmu bahwa pelukan menjelang tidur adalah pengantar luluhnya keangkuhan dan munculnya kekuatan agung yang baru, aku hanya terdiam. Aku pernah rasakan itu! Kau pun tahu. Aku menjadi putri di purinya, sedangkan kau bersembunyi di balik semak. Sesekali antarkan bunga kala aku duduk di taman hati yang mulai penuh ilalang. Kau tebas dan dengan manisnya menebar benih-benih bunga baru. Kini kita pun bersama mencium aroma bunga dan tanah basah tiap habis hujan.

Aku terhuyung karena kapalku terhadang dan kau antarkan aku menuju dermaga. Duhai bintang barat daya, apa yang ada dalam benakmu kala aku menangis karenanya dan kau tawarkan bahu? Tidakkah kau lunglai mengajakku berkeliling hutan dan bermain di danau? Kau menjawab lugas, “tidak. Memberi dan membuatmu tersenyum membuatku bisa tidur malam ini”.

Lalu, kau bangunkan aku dengan sentuhan itu. Seringkali kau mengaku tak tidur. Apakah kau tahu kehadiranmu lebih hangat dari secangkir kopi dan mentari pagi? Tak usah menunggu dentang karena kita yang bunyikan lonceng. Jangan terlambat, namun kita pun tak perlu terburu. Aku menunggu musim panasmu. Kita berenang ke utara. Barangkali juga kita bisa bercinta dalam megahnya pesiar menjemput lautmu.


Bandung, 27 Januari 2011

Tidak ada komentar: