Membimbing tanya menuju pelabuhan terakhir. Memotret keseluruhan cerita dalam pigura waktu yang berhulu pada sumpah agung. Katakan padaku tentang sambutan meriah setelah ucap berderma di sehelai kain putih milik mereka yang hanya kita gunakan sehari. Ini babak penuh rencana. Kau menatap matanya dan aku mendengarmu khidmat. Sesaat sebelum akhir kalimat, ingatanku berputar cepat ke tempat itu. Kau dengan dua ranselmu dan aku menunggumu dengan jaket kuyup. Satu pelukan menyapa kita erat.
Dengan langkah tanpa ragu, kini denting kecapi dan alunan seruling menemani kita. Segelas bandrek panas, sepotong kue berbalut daun nan sederhana, dan selembar kain batik khas turut serta merangkum masa. Hanya kita yang tak bisa diam ikut menari. Tak banyak orang tahu, janjiku dulu. Kau hanya memberi anggukan tanpa berkata apa pun. Kita berguru pada kata sepakat.
Mereka boleh bicara tentang Tuhan yang terbagi dalam kotak, namun kita tidak. Tuhan kita sama. Mereka tak tahu makna berpuisi bersama. Mereka enggan duduk semeja. Mereka tak mengerti bahwa minum kopi bersama sanggup redakan amarah. Mereka tak tahu kita yang sempat tertatih. Mereka tak bisa menyelami samudera yang tercermin di biru bola matamu.
Kita pernah lelah, bukan? Kita jengah dengan sindiran mereka tentang Tuhannya. Barangkali mereka tak tahu arti sujud yang panjang menghayati keesaan-Nya. Mereka enggan mengakui bahwa Tuhan kita sama. Mereka tak paham pengkhianatan yang seolah suci itu.
Sekarang mari ikuti aku. Sambil melihat kunang-kunang di kebun, kita duduk berdua. Menikmati dingin dan bau kayu bakar disertai sayup anak-anak mengaji di kejauhan. Berbagi denganmu tak ‘kan sampai tamat. Jika pun kita terpisah raga, aku butuh seribu tahun lagi mengenalmu. Aku ingin kita saja yang bicara. Pakai kacamatamu yang dulu sempat kau simpan, saat aku berkata kau nampak terlalu serius dan jangan gunakan lagi. Kau mengambilnya, tersenyum, kemudian duduk di sampingku lagi tanpa bicara. Mengunyah singkong rebus, meminum kopi hitam, lalu sendawa. Dengan sarung yang terlalu kecil, kau bergeser. Aku tahu ini akan terjadi, sahutmu. Aku pun tahu. Hanya saja enggan bicara padamu. Kita menatap kosong ke depan. Ah, barangkali ini hidup penuh pesona, kataku. Aku menggenggam tanganmu. Mari tidur, ajakku. Kau terdiam sejenak. Semoga ini bukan bagian dari bunga tidur kita, katamu setengah berbisik.
*terinspirasi oleh Lea Salonga - Two Words yang membuat saya berani memenggal malam dan berpuisi menyematkan namanya di sana.
Bandung, 11 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar