Bicara persoalan semesta, saya pikir baru akan terhenti jika kehidupan berakhir. Warna warni kehidupan memang mengagumkan. Tentu tanpa lepas dari segala racunnya itu, ya? Bulan lalu saya menemukan sebuah tempat yang nyaman sekali. Tempat itu tak pernah melarang saya untuk bicara. Saya bisa melakukan apa pun. Tak ada yang lebih penting dari pengungkapan rasa. Tanpa kita sadari, bahkan untuk jujur pun, kita masih harus belajar banyak. Seringkali kita menjadi pendusta bagi diri sendiri.
Saya akui akhir-akhir ini saya sangat menjaga jarak dengan orang-orang yang awalnya dekat. Siapa pun itu. Saya menghindar dan mungkin ini titik paling ekstrem yang pernah saya lakukan. Beberapa di antaranya tidak saya hubungi lagi. Entahlah, bagi saya, kecewa adalah awal mula keretakan. Apalagi saya mengalami kejengahan dan itu ternyata lebih buruk dari kecewa. Saya memutuskan untuk mundur. Tak akan ada yang sama, terlepas maaf itu terucap atau tidak. Bagi saya, menyakiti adalah perbuatan yang mengkhianati kepercayaan. Ini lebih dari cukup.
Saya menemukan tempat baru tanpa ketakutan ditinggalkan lagi. Bagaimanapun juga, tak ada manusia yang nyaman dengan kesepian, bukan? Kita adalah makhluk sosial yang dengan senantiasa membutuhkan orang lain, terlepas untuk berbagi tawa atau tangis. Dalam persoalan ini, saya cukup merasakan kenyamanan yang baru. Kepercayaan saya kepada orang-orang dekat hilang sudah. Menyesal? Tentu. Namun, toh, saya sudah memutuskan untuk menghindar dan dengan tegas saya sampaikan itu pula pada mereka.
Ada satu hal yang saya selalu tak habis pikir. Orang-orang dekat saya berubah ketika mereka memiliki pasangan. Saya pun punya. Dari dulu bahkan mungkin saya yang paling rajin gonta ganti pasangan. Namun, bagi saya, posisi teman jauh di atas pasangan. Saya lebih memilih teman. Kunci-kunci hidup saya ada pada mereka. Tiap keluhan dan kebahagiaan, saya bagi pula pada mereka. Tapi, sayangnya saya tidak mendapatkan itu. Ada kalanya kita membutuhkan balasan yang setimpal. Pamrih? Bisa jadi. Bukankah manusia adalah makhluk yang senang mendapatkan perlakuan yang baik pula ketika memberi kebaikan?
Setidaknya ada beberapa orang sekaligus yang saya coret. Ternyata setelah saya pikir, keberadaan mereka malah menjadi beban bagi saya karena pertemanan kami memang tidak sehat. Keseimbangan dalam berhubungan tidak saya dapatkan. Jomplang. Jadi, saya pikir, untuk apa berbagi dengan orang yang enggan diajak berbagi? Mengapa kita membutuhkan dorongan dari orang yang tidak memberikan dukungan, ketika dalam keadaan bahagia sekali pun? Jalan paling realistis adalah menghentikan pertemanan. Menyakitkan? Sangat! Tapi saya enggan menyakiti diri lebih jauh dengan mengharapkan keberadaan mereka yang tak kunjung hadir.
Saya bukan tipe orang yang mudah memaafkan. Tentu saya punya klasifikasi untuk itu. Untuk beberapa kesalahan yang membuat saya jengah, tidak ada kata maaf dan pertemanan berakhir. Sekali saya muak, sulit untuk kembali. Bagi saya, kehilangan teman jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan pasangan. Mereka jauh lebih tahu persoalan diri saya daripada pasangan. Namun, apa boleh buat? Permintaan maaf pada akhirnya menjadi legitimasi kesalahan dan retorika. Basa basi apa yang lebih buruk dari itu? Permintaan maaf adalah tindakan nyata, bukan sekedar pernyataan kosong.
Bandung, 5 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar