Mendidik diri. Itu obrolan panjang saya dan seorang teman yang kini berada di Belanda terjadi begitu menarik hingga pagi. Di tengah kejengahan yang cukup membuat saya malas berhubungan dengan siapa pun, dia tiba-tiba menyapa lewat media internet. Lalu, kami sepakat untuk menyediakan waktu esok harinya. Tengah malam waktu Indonesia Barat dan pukul enam petang waktu Belanda.
Dulu sebelum dia melanjutkan sekolah disana, kami cukup sering berdiskusi atau sekedar bicara dari hati ke hati dari malam hingga pagi. Secangkir kopi kental hitam tanpa gula selalu dia buatkan. Ditemani berbatang-batang rokok yang menumpuk di asbak. Rasa-rasanya begitu cepat waktu berlalu. Kini usianya seperempat abad. Dia cantik, cerdas, dan sangat ramah. Seorang teman yang bahkan saya tidak pernah tahu cara dirinya marah. Teman yang selalu berusaha menyediakan waktunya, bahkan ketika dia baru saja menangis, namun masih bisa tersenyum dan mendengarkan saya yang berceloteh kesana kemari. Seorang yang luar biasa karena tingkat pengendalian emosi yang sedemikian terjaga dan saya bisa melihatnya begitu tulus lewat intonasinya yang teratur.
Kami berangkat dari latar belakang yang hampir sama. Kami mencintai buku, sastra, filsafat, sosiologi, dan rela menghabiskan waktu dengan mendiskusikan semesta yang tua ini. Dari mulai pembicaraan kecil tentang kegelisahan bernegara hingga keberadaan tuhan. Ya, dia bukan saja seorang teman yang saya kagumi, tapi juga orang yang selalu berhasil membuat saya mengejar mimpi, tak peduli sesulit dan sejatuh apa pun diri saya. Dia selalu sukses membuat saya berharga dan menjadi manusia utuh dengan sebuah harapan kecil yang tak henti dia pupuk. Dia bukan saja partner diskusi yang cerdas, namun juga seorang kawan yang tak pernah lelah menyisihkan waktunya. Saya begitu terpukul ketika harus memeluknya dua hari sebelum keberangkatannya ke Belanda empat tahun lalu. Saya ingat waktu itu dia menggenggam tangan saya dan berkata, “Ntan, kita tidak akan pernah berpisah karena kita berasal dari entitas yang sama. Saya akan selalu merindukan perbincangan bercumbu dengan malam yang kita sering lakukan”.
Empat tahun berlalu dan kami jarang sekali melakukan kontak. Kami sama-sama sibuk dengan dunia masing-masing. Pun ketika dia pulang ke Indonesia. Kami tak pernah bertemu. Keramahan dan kecerdasannya membuat teman-teman kuliahnya harus rela berbagi hari untuk bertemu dengannya. Jika dia punya waktu kosong, pada saat yang sama, saya yang tak bisa menemuinya. Begitu juga sebaliknya. Ketika pun ada saat-saat dimana saya terpuruk, saya selalu merindukan kehadirannya. Jika ada saat dimana saya sampai pada titik tinggi bahagia, saya ingin berbagi dengannya. Duduk menikmati malam yang dingin dan minum kopi lagi bersamanya.
Mendidik diri. Itu yang dia tekankan dua malam lalu. Menangis itu sehat dan seksi, katanya, saat saya tak kuasa menahan tangis. Masa lalu itu pahit. Titik. Betul bahwa masa lalu bisa mempengaruhi diri dan membuat kita lebih dari terluka. Namun, sebagai manusia kita memiliki kuasa untuk merubah keadaan. Anggaplah hal di luar diri kita adalah bonus. Yang terpenting adalah kemampuan menuliskan takdir sendiri melalui kreativitas. Kita adalah sentral segala persoalan. Ya, dia begitu mencintai Sartre. Ini adopsi pemikiran Sartre yang begitu konsisten dia terapkan dalam kehidupannya. Saya sendiri sama sekali tidak menggemari Sartre karena saya tidak menyepakati teorinya. Dalam kesempatan ini, saya tak akan mengurai teori tersebut karena akan ada uraian panjang yang sudah saya persiapkan di tulisan selanjutnya.
Ibu itu ada dalam diri kita. Menjadi orang tua bagi diri sendiri itu penting, katanya. Dia begitu geram dan marah saat melihat realitas bahwa banyak orang berlomba memiliki anak. Ini tidak adil. Ini semacam kompetisi tak masuk akal, saat anak-anak tidak dibekali pendidikan yang mapan. Ya, pendidikan. Pendidikan yang bukan saja didapatkan di bangku sekolah, namun juga pendidikan mental yang dibangun dalam sebuah pondasi keluarga. Banyak orang gagap mendidik anak. Banyak orang bingung menanamkan mental kritis dan nuansa dialog pada anak. Banyak orang tua sedemikian superior menghadapi anak-anaknya. Anak-anak tidak diberikan kebebasan untuk memilih, bahkan bersuara sekali pun. Seolah orang tua selalu benar. Berapa persen anak lulusan SD yang sanggup memilih SMP-nya sendiri? Berapa banyak anak yang bahkan untuk mengejar cita-citanya harus terhambat izin orang tua? Berapa banyak orang yang kesempatan bekerjanya harus hilang begitu saja, saat orang tuanya tidak setuju? Lebih jauh lagi, coba perhatikan berapa persen orang yang begitu bingung mengenai masa depannya, ketika dihadapkan dalam situasi memilih pasangan hidup hanya karena menunggu restu orang tuanya? Lantas, pertanyaannya adalah, tidakkah kita lupa bahwa kita adalah makhluk yang Tuhan ciptakan merdeka? Mengapa posisi orang tua bisa mengalahkan kekuasaan Tuhan yang begitu indah tentang kemerdekaan dalam berkehendak?
Kita akan selalu dibenturkan dengan pendapat bahwa restu-Nya turun jika restu orang tua ada. Pertanyaan selanjutnya adalah, sebegitu tergantungkah Tuhan, hingga Dia harus menunggu restu makhluk-Nya? Ini sebuah jawaban absurd dan tak masuk akal yang seringkali menjadi pembenaran superioritas kerdilnya cara berpikir orang tua. Bukankah Dia pun tak pernah mengizinkan kita untuk melakukan kesalahan dan tak perlu mengikuti orang tua yang menyimpang? Lantas, apa yang dimaksud dengan kesalahan dan penyimpangan? Kita bahkan tidak pernah dididik untuk mengetahui itu! Yang diajarkan pada umumnya adalah mengabdi pada orang tua dengan mengikuti keinginannya dan kita selalu menjadi objek duplikasinya yang irasional. Inikah yang disebut dengan kebaikan? Mengorbankan mental pribadi demi sebuah absurditas kepatuhan? Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa apa yang kita lakukan menjadi tanggung jawab pribadi yang suatu saat kita pun akan memetik buah perilaku sendiri. Atau coba kita tarik ke dalam konsepsi teologis. Bukankah kita akan mempertanggungjawabkan semua perilaku di hadapan-Nya tanpa menanggung dosa orang lain? Maka, sejauh manakah kita paham arti kata tanggung jawab diri? Sejauh mana kita berhasil mendidik diri untuk bisa bijak mengetahui makna benar dan salah? Sejauh mana mereka sanggup menanamkan nilai yang bisa kita pertanggungjawabkan? Sejauh mana kita diajarkan menjadi pribadi yang unggul dengan berani mengambil keputusan atas pertimbangan akal sehat kita sendiri tanpa adanya superioritas buta?
Seringkali saya muak dengan argumen ketundukan dan keterpurukan mereka yang tidak sanggup berkata tidak atas keputusan orang tuanya. Padahal, jauh di lubuk hatinya, mereka pun membenci tindakan itu. Lalu, apakah ini bukan senyata-nyatanya kemunafikan? Bukankah perbuatan baik itu harus dilandasi ketulusan? Ketulusan macam apa yang melekat pada kemunafikan?
Itu inti diskusi panjang kami. Di saat yang sama, kami mencoba saling menelanjangi satu sama lain. Itu obrolan paling intim saya dengan dia. Obrolan yang begitu terbuka dan dekat. Kami bertukar cerita tentang perkembangan empat tahun terakhir dan hal-hal yang belum pernah kami bicarakan sebelumnya. Kami saling berterima kasih dan mengagumi. Mencoba menguatkan diri dengan segala tekanan yang ada. Ketika pun kita gagal mencapai sesuatu, manusia selalu menciptakan sosok ideal imajiner dalam dirinya sebagai penuntun untuk bertahan, bukan? Barangkali kegagalan adalah sebuah hal yang bisa didapatkan dalam hal apa pun. Kita tidak perlu risih dan takut mengakui ketegaran semu yang ada. Namun, itu pun tidak seharusnya menjadi sekat untuk terus berbuat sesuatu. Ya, kita manusia yang memiliki alur cerita berbeda untuk menghisap sumsum kehidupan dengan cara masing-masing. Kita manusia yang tak pernah berhenti menyempurna dalam perjalanan menuju-Nya. Kematian itu sederhana karena yang rumit adalah kehidupan. Kita hanya sedang bertahan di tengah ilusi singkat yang disebut dengan kehidupan. Bagi saya surga tak sebanding dengan cinta-Nya yang agung. Menyatu dengan-Nya lebih indah ketimbang surga yang seringkali dikejar manusia. Kita lupa bahwa keagungan cinta-Nya lebih dari surga. Cinta-Nya yang mengajari saya untuk mencintai semesta. Cinta-Nya mengajari saya makna yang lebih menakjubkan dari sekedar surga.
*ucapan terima kasih tak terkira, saya berikan kepada sahabat tercinta, Nadia Dwi Puri Andayani.
Bandung, 28 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar