Kamis, 16 Agustus 2012

Demi Langit-3

Bermula dari beberapa hal yang cukup membuat saya bertanya tentang kesucian. Bagi saya, perbuatan tulus pasti memiliki kesucian di dalamnya. Ada aliran agung yang mengikuti cinta-Nya ikut serta dalam tindakan. Itu yang saya alami bersama Gérard, seekor anjing hasil kawin silang antara Golden Retriever dan Labrador Retriever. Anjing pertama yang saya beli dengan uang sendiri. Umurnya sepuluh bulan. Kini beratnya dua puluh kilogram. Bulunya berwarna cokelat keemasan. Hanya saja akibat kecerobohan saya, dia sempat jatuh hingga harus mengalami perawatan di pusat kesehatan hewan ketika usianya baru dua bulan. Dua kali diinfus dan empat kali disuntik. Entahlah, hal itu bukan saja menyakitkan, tapi juga menyadarkan betapa cerobohnya saya. Bagaimanapun Gérard makhluk-Nya yang butuh cinta. Mengapa saya demikian bodoh membiarkannya bermain dan jatuh dari balkon? Gérard tidak tumbuh seperti anjing pada umumnya. Dia tidak bisa mengangkat satu kakinya untuk kencing hingga saat ini karena ada engsel kaki kiri belakangnya yang bergeser dan tidak bisa kembali normal. Saya tak pernah berhenti untuk menyalahkan diri tiap kali melihatnya kepayahan dan akhirnya enggan mengangkat kaki.

Beda halnya dengan manusia. Ada akal yang menyelimuti tingkah lakunya. Ada aturan main dalam bersikap. Ada patokan benar-salah. Ada permainan baik-buruk. Atas nama iman kemanusiaan, saya pikir berbuat baik tak pernah berakibat buruk apalagi dosa. Persoalan penerimaan individu, itu lain hal. Entahlah, saya tahu dan sadar betul bahwa gradasi menyempurna menuju-Nya memang penuh perih, terlepas di akhir setiap babak selalu ada kepuasan tersendiri. Perihal pertemanan yang tidak sesuai dengan konsepsi ideal pun begitu. Menyakitkan. Hingga saya kadang berpikir, anjing lebih unggul dalam hal ini. Jauh sebelum film Hachiko ada, saya kagum akan kesetiaan luar biasa yang dimiliki makhluk Tuhan yang satu ini. Sayangnya, masih banyak manusia yang merasa bahwa dirinya terlalu suci dan berani mengkerdilkan anjing—yang tentu tak pernah lepas dari kasih sayang-Nya yang meliputi semesta. Kesombongan terselubung yang kadang luput dari perhatian diri sendiri.

Keterpukulan mengetahui salah satu teman dekat saya yang menikah tanpa kabar menjadi salah satu pemicu untuk mulai masuk ke dalam sebuah ketidakpercayaan terhadap pertemanan. Ditambah dengan asumsi-asumsi liarnya yang membuat saya terpuruk. Belum lagi masalah demi masalah mengenai pertemanan dengan yang lain mulai datang satu per satu. Saya tidak mudah percaya kepada orang lain, tetapi ketika ada orang dengan itikad baik hadir, dengan senang hati dan penuh kesadaran saya sanggup menerimanya. Saya bahkan rela datang atau sekedar menjemput teman saya, walaupun tengah malam dan hujan. Saya selalu rela membatalkan acara apa pun demi teman. Saya selalu menyediakan waktu lebih. Saya belajar memberi. Saya belajar hadir. Saya belajar hangat. Saya belajar mengetahui cara untuk menghibur. Saya belajar menggenggam tangan. Saya belajar bahkan untuk sekedar memeluk. Saya tidak hanya belajar berbagi tangis, tetapi juga tawa.

Dari situ saya mengetahui sedemikian besar hal yang mereka lakukan kepada saya. Kadang hal kecil yang kita lakukan membuat orang lain merasa berharga, apalagi ketika hal tersebut ada pada saat jatuh. Sekedar menanyakan sudah makankah atau sudah baikankah. Remeh temeh dan kita tahu itu bukan hal penting yang harus dipertanyakan. Namun, ketika kita ada pada titik nadir, bukankah hal itu sanggup membuat kita tersenyum dan mulai meyakinkan diri bahwa naif jika kesendirian dirasakan begitu niscaya? Tidakkah hal tersebut sebegitu indah karena Dia selalu berbicara dalam bahasa yang kita pahami? Bukan pada persoalan kita bercerita pada-Nya dan selesai sudah semua masalah, namun solusi, toh, tidak dengan serta merta datang dari surga, bukan?

Kita tidak bisa menegasikan bahwa kita adalah makhluk komposit materi dan inmateri yang tentu tidak hanya butuh keyakinan sebagai jawaban, namun juga bukti konkret sebagai buahnya. Kita tidak bisa menipu diri bahwa dengan berdoa habis sudah persoalan, tetapi kita juga butuh sandaran bahu dan penyemangat utuh. Saya pikir, dengan begitu tidak lantas Tuhan menjadi subordinat. Hal tersebut, toh, tidak mengkerdilkan-Nya—dan tidak akan mungkin ada yang mampu melakukan itu. Justru disitulah letak syukur kita sebagai makhluk-Nya yang menerjemahkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan dengan penuh kesadaran ketika berdoa dan minta pertolongan-Nya. Manusia adalah makhluk sosial yang niscaya. Apakah kita lantas menjadi “tidak beriman” ketika menjadikan makhluk lain sebagai sandaran? Tentu saja tidak.

Kembali kepada masalah pertemanan yang menyakitkan. Kali ini saya masuk lagi ke dalam nuansa itu. Bagi saya, anjing menjadi solusi terbaik saat ini. Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang teman ketika saya benar-benar larut dalam kekecewaan. “Lantas untuk apa sebenarnya pertemanan itu?” tanya saya. “Untuk mengetahui pembagian tugas individu dan sosial. Kadang kita perlu sendiri dan adakalanya kita harus berbagi. Hanya satu pesan saya dan saya tahu bahwa ini menyakitkan. Jangan terlalu berharap bahwa pertemanan selalu menyenangkan,” jawabnya. Saya bukan hanya diam sejenak, tapi juga terluka. Ya, kebenaran kadang menyakitkan, sehingga kita lebih memilih membohongi diri untuk menegasikan ketidakmampuan menghadapi rasa sakit.


*terima kasih yang tidak terkira untuk Deni Kurniadi atas diskusi-diskusi dan pernyataan-pernyataan tegas yang kadang saya enggan terima. Namun, sekarang saya mengerti. 

Salam cinta untuk anjing-anjing saya. Untuk Pedro, Diego, Petri, Larry, Jennifer, Patrick, Jason, Sandy, Mona, Georgia, David, Lenny, dan tentu saja Gérard. Semoga Tuhan memberkati.


Bandung, 22 Juni 2010

Tidak ada komentar: