Aku baru saja mentato punggung dengan mawar hitam. Sengaja dibuat bergradasi dicampur merah gelap agar nuansa tiap lekuk anggunnya terlihat. Tatonya kecil. Hanya sekitar 10 cm. Disimpan di punggung sebelah kiri.
Alasannya sederhana. Hitam adalah warna yang tak sanggup diintervensi apa pun. Setiap orang pun tahu ada simbol feminitas tak terkira yang tertuang dalam bunga yang satu ini. Ada kelembutan dibalut ketegasan yang dimiliki mawar hitam. Jelas menandakan semangat arogansi yang dibentuk dengan sengaja. Ada getir yang ditutup dengan lambang gelap. Ada nadir yang meliuk mengikuti konturnya.
Sama halnya dengan rasa perih dan sakit ketika jarum-jarum itu membubuhkan catnya ke dalam pori-poriku. Aku merasakan pula ada kecacatan dalam nafas kepercayaan yang dicederai oleh pertemanan. Ah, terlalu agung rasanya jika kata persahabatan yang aku tulis. Ketika ketulusan dikotori keingkaran murni, aku bahkan tak sanggup mengingat itu. Ada luka. Ada keengganan untuk merelakan perilaku biadab beberapa orang teman yang dengan luar biasa bicara atas nama waktu.
Bukan saja merasa dikhianati, namun juga disakiti dengan sadar dan menjijikan. Aku selalu ada. Aku menganggap mereka bagian dari jejak ketegaran abadi melewati gigil sumsum kehidupan yang kita hisap bersama. Namun, ternyata mereka hanya hadir jika butuh bahu untuk menyandarkan tangisnya. Tak ingin berbagi lebih atas tawa yang dimiliki. Ketika pun aku meminta bagianku, tak pernah ada yang sekedar membawakan teh hangat agar aku luluh dalam dera.
Ternyata seekor anjing lebih mulia ketimbang mereka yang mengumbar kenajisan yang dilekatkan kepada makhluk Tuhan itu. Seekor anjing jantan yang menemaniku hampir setahun ini lebih berharga daripada orang yang sibuk membasuh tubuhnya dengan air suci untuk bertemu dengan-Nya. Tidak ada yang lebih indah dibanding perbuatan tulus dan kesetiaan seekor anjing. Katanya, mereka menghukumi anjing dengan kenajisan tak terperi. Tapi bagiku, lebih baik membasuh najis anjing dengan tanah daripada mencuci kenajisan yang melekat pada perbuatan hina manusia dengan maaf! Maaf telah kehilangan makna jika kesalahan dilakukan berulang. Kekhilafan sebagai manusia dijadikan tameng untuk melakukan keburukan lagi dan lagi. Secara tidak langsung menyalahkan Tuhan yang dengan kesempurnaan-Nya menciptakan makhluk—yang katanya—mulia seperti manusia. Tidak ada yang lebih menjijikan dan memuakan dari itu. Masih beranikah mereka bicara tentang Tuhan denganku? Aku bertepuk tangan ketika mereka mengkambinghitamkan-Nya dengan sikap serampangan atas kebiadaban pengkhianatan!
Aku dengan bangga mentato tubuhku dan memiliki alasan di balik itu. Aku lebih baik menyakiti diri sendiri daripada harus memperkosa ketulusan orang lain! Aku tak membawa Tuhan dalam tindakan bodohku. Ini lebih baik dibanding mereka yang dengan mudah mengumbar nama-Nya atas kekejian menyakiti orang lain. Dalil dan teks suci mana lagi yang melegitimasi kesalahan mereka? Jangan meminta maaf padaku lagi. Memohon ampun sajalan kepada-Nya atas kemunafikan yang selalu bersembunyi di balik-Nya dan dengan sombong membawa-Nya ke dalam tiap dosa menyakiti orang lain! Ternyata berteman dengan anjing lebih baik daripada manusia yang memiliki kenajisan lebih dari anjing!
Bandung, 15 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar