Beberapa waktu yang lalu saya dan seorang teman berbincang panjang lebar hingga pagi. Dari mulai bicara tentang negara, hingga obrolan santai tentang pertemanan dan hubungan lawan jenis. Dia seorang perantau. Gayanya slang dengan intonasi bicara yang begitu cepat.
Ada satu tema yang ternyata kami sepakati. Ketika manusia membutuhkan eksistensi, maka dirinya akan menjadi sentral. Muaranya terdapat di tindakan yang kembali berefek pada diri. Itulah yang disebut dengan esensi prudensial. Manusia mencintai dirinya.
Obrolan mengenai itu bermula ketika saya cukup kesal karena bunyi telepon selularnya hampir tiap lima menit. Pesan singkat yang mengganggu. Lalu, teman saya mengaktifkan tanda diam. Walaupun ternyata sms itu masih terus berlanjut.
Dia bercerita tentang kedekatannya dengan seorang pria yang baru saja pindah keluar kota. Mereka saling berkirim puisi via pesan singkat. Hal yang menarik adalah dia mengatakan bahwa seringkali bosan dan lelah dengan sms yang menghabiskan waktu hinga menjelang pagi.
Saya : "kalo gitu, lo matiin aza hp-nya. Gampang, kan?"
Dia : "gw ga tega. Bukan apa-apa. Kalo gw butuh orang, terus gw hubungi orangnya ga bales, gw suka ga enak dan kesel. So, gw ogah mereka yang butuh gw jadi kesel juga kalo gw ga bales"
Saya : "haha! Gw juga ga pernah pending kalo bales sms, tapi sayangnya kalo gw butuh balasan, orang-orang suka pending bales sms ke gw"
Dia: "gw ga suka kalo sms panjang lebar dibalas singkat. Tapi, gw pernah parktekin itu juga. Nah, temen-temen gw protes. Jadi, setelah gw pikir-pikir, banyak orang jadi malah ga enak dan merasa tidak terbantu dengan sms pendek kali, ya, Ntan?"
Saya : "barangkali sama aza manusia itu, ya? Seneng ato sedih butuh bersandar. Sekedar dapet apresiasi dengan apa yang mereka rasa, padahal cuma balesan sms, itu udah jadi luar biasa"
Dia : "yah, namanya juga orang, Ntan. Pengen dianggap. Kalo dibales diem padahal butuh, kan, malah diartikan menyakiti. Jadi, gw bales aza sms-sms itu"
Saya: "tapi gw lebih sering didiemin, ah. Sial amat gw, ya?"
Dia: "gw juga. Padahal gw ga pernah begitu ke orang"
Saya: "kalo kita protes ke Tuhan aza, gimana? Katanya kalo kita baik, pasti dibales baik"
Dia: "ahaha! Dasar lo!"
Jadi, sederhana, bukan? Manusia butuh dihargai. Butuh eksistensinya diakui. Bahkan oleh sekedar balasan pesan singkat yang dibilang remeh. Namun, dalam situasi tertentu, hal tersebut bisa jadi luar biasa. Betul bahwa penyelesaian masalah berakhir pada individu. Namun, pandangan yang berbeda juga bisa menjadi referensi tindakan, bukan? Jika segala sesuatu selesai begitu saja dengan berdoa, saya pikir mustahil Tuhan menyuruh kita untuk tolong menolong.
*terinspirasi dari statement salah satu film Indonesia yang saya lupa judulnya. "yang paling menyakitkan adalah bukan ketika sedih dan tak ada orang di samping kita. Tapi, kala kita bahagia dan tak seorang pun bisa diajak berbagi"
Bandung, 18 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar