Kamis, 16 Agustus 2012

Demi Langit-6

Ada hal yang luar biasa menarik ketika kita bicara tentang perempuan. Makhluk manis yang dibalut dengan ketegaran abadi. Diambil dari beberapa diskusi panjang dan obrolan-obrolan ringan, persoalan perempuan adalah salah satu dari sekian banyak masalah yang menakjubkan. Tak selesai dikupas.

Untuk sebagian orang, seks adalah hal yang tabu. Walaupun makin lama saya meragukan hal ini. Ada yang dikemas secara vulgar. Ada pula yang bahkan untuk membicarakannya sedemikian tertutup. Bagi laki-laki, perbincangan mengenai seks adalah bagian dari berbagi pengalaman dan—tentunya—ladang untuk memperbaiki kualitas pelayanan. Namun, seringkali jka kita membedah persoalan seks di kalangan perempuan, hal ini masih juga sulit diutarakan. Lagi-lagi kita bicara tentang konstruksi budaya. Laki-laki merasa gagah bicara soal seks, sementara perempuan dicap liar dengan tema yang sama.

Ada parsialitas yang menyesatkan dalam pembedahan teologi yang dianut masyarakata kita, sehingga menjadi batu dasar dalam konstruksi budaya. Dalam sebuah penelitian yang pernah saya baca hanya 29% perempuan yang mengalami orgasme. Memprihatinkan, bukan? Bukankah seharusnya seks bisa dinikmati bersama. Apa yang sebenarnya terjadi? Ya, pengetahuan perempuan tentang seks sebegitu minim. Mengapa hal itu bisa terjadi? Saya pikir, budaya ketertutupan berekspresi bagi perempuan harus dikritisi.

Beda halnya dengan laki-laki. Dalam hubungan seks, laki-laki hanya membutuhkan waktu 2 menit saja untuk terangsang, sedangkan perempuan 20 menit. Unik, bukan? Perempuan didominasi rasa nyaman untuk bisa tenang dan menikmati tiap sentuhan, sedangkan laki-laki hanya butuh visualisasi sekejap. Sebagai konsekuensinya, perempuan seringkali mengeluh pasca bercinta. Ada sakit yang luar biasa ketika buang air kecil yang disebabkan oleh iritasi karena lubrikasi minimalis. Hal ini terjadi kurangnya rangsangan dari laki-laki. Bisa dibayangkan hal ini terjadi begitu dominan pada perempuan. Belum lagi kepuasan yang dibuat palsu oleh kebanyakan perempuan karena tidak ingin menyakiti perasaan pasangannya. Bukankah hal tersebut dapat mempengaruhi sebuah hubungan dalam jangka panjang?

Bagaimana dengan orgasme? Orgasme dan ejakulasi pada laki-laki adalah dua hal yang berbeda. Meski seringkali terjadi bersamaan. Dalam durasi 6 menit bercinta, laki-laki bisa 4 kali orgasme. Menakjubkan! Namun, seringkali ditemukan dalam dua atau tiga kali hubungan seks, perempuan bahkan tidak mengalami orgasme sekali pun. Lalu, bagaimana performa penetrasi yang seharusnya bisa terjadi lancar? Barangkali itulah yang mengilhami produk pelumas buatan yang bisa kita temui di beberapa toko khusus atau apotek. Saya pikir, ketika komunikasi dibangun bersama untuk mengetahui titik-titik sensitif di tubuh kita, hal tersebut tidaklah perlu terjadi. Walaupun lubrikasi pada perempuan juga bisa dipengaruhi oleh faktor psikologis lain. Namun, bukankah seharusnya hal ini bisa dikomunikasikan bersama?

Saya sempat berdiskusi dengan beberapa orang teman tentang hubungan seksnya yang buruk. Bahkan bagi saya sangat tidak manusiawi. Ketika laki-laki meminta jatah tempat tidur pukul berapa pun tanpa memperhatikan kondisi pasangannya, bukankah pada akhirnya ini menjadi penindasan? Bukan hanya penindasan fisik, tetapi juga mental. Bayangkan jika Anda harus melayani pasangan pukul 2 dini hari. Setelah itu laki-laki tidur dengan pulasnya dan perempuan hanya merenung di balik selimut. Bukan hanya persoalan anatomi laki-laki yang menyebabkan cepatnya lelah, namun juga dampak dari perilaku tidak menyenangkan yang dialami perempuan pasca bercinta. Seperti kita ketahui bersama bahwa perempuan dominan bicara soal rasa. Maka, kenyamanan setelah bercinta penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri kembali. Ada rasa ingin dilindungi yang diterjemahkan melalui sentuhan-sentuhan kecil, pelukan, atau ciuman yang dibutuhkan perempuan.

Namun, coba kita tengok realitas. Tidak hanya pengetahuan yang minim tentang seks, tapi juga ekspresi yang terhambat karena budaya patriarkis yang tumbuh di masyarakat kita. Perempuan menjadi makhluk yang dibentuk begitu pasif. Tidak berani bicara tentang apa yang diinginkannya  di tempat tidur karena khawatir dianggap binal. Enggan menolak ajakan bercinta karena takut dianggap pembangkang. Penafsiran parsial teologislah penyebabnya. Ada dosa yang dilekatkan kepada perempuan jika menolak ajakan bercinta suaminya. Hal tersebut menjadi legitimasi tidak manusiawi yang dilakukan sebagian laki-laki. Pada akhirnya menjadi legitimasi paling brutal ketika akumulasi “penentangan” ini berakhir pada poligami. Lagi-lagi kemampuan menelaah teks suci yang buruk menjadikan perempuan sebagai korban. Lagi-lagi persoalan tempat tidur. Lagi-lagi persoalan institusi pernikahan yang dinodai hasrat primitif!

Saya percaya bahwa Tuhan menciptakan agama bagi makhluk yang berpikir. Ketika kita menggugat tafsir teologis poligami, seringkali dituduh tidak taat agama. Lagi-lagi kaum sok teologis itu menjadi wakil Tuhan dalam penetapan dosa. Memuakan! Ada tafsir yang parsial dalam memperlakukan sesama manusia. Ketika agama turun kepada makhluk yang berakal, maka gunakanlah analisis logis. Saya percaya bahwa Tuhan mencipatakan manusia berpasangan. Berpasangan itu dua. Tiga itu trio. Empat itu kuartet.

Persoalan seks bagi perempuan menjadi terlihat seolah rumit. Padahal ada benang merah dalam berbagai masalah di dunia. Hal tersebut selesai dengan sebuah kunci; keterbukaan dalam berkomunikasi tanpa dominasi. Itu saja. Maka, seringkali saya miris dengan mereka yang mengaku taat beragama, tapi tidak manusiawi. Ritualnya rajin, menindas pun tekun. Istrinya lebih dari satu, anaknya banyak, kemampuan memahami pasangan minim karena pada akhirnya istri dipojokkan untuk menerima tanpa argumen atau bahkan iming-iming surga. Ah, jalan menuju surga tidak hanya dengan menerima poligami, bukan? Lagipula, apa ukuran ikhlas? Absurd!


Bandung, 3 Februari 2011     

Tidak ada komentar: