Ini persoalan etika pertemanan. Beberapa kali mencoba perilaku buruk sebagian teman yang sempat cukup dekat. Bagi saya menghargai manusia lain lewat sikap adalah keniscayaan. Sebagai manusia tentu perasaan ingin dihormati merupakan wujud penerimaan tertinggi.
Sebut sajalah ini bagian dari mimpi buruk. Saya lebih menghargai kejujuran dalam bentuk yang langsung dan menyakitkan daripada harus bergesekan dengan kemunafikan. Seringkali kita memilih untuk bicara manis atau bahkan—yang paling menjijikan—diam untuk sekedar menutup ketidakmampuan berkomunikasi dengan baik. Diam itu pengkhianatan, kawan!
Saya lelah dengan ajaran yang seolah cerminan ketimuran ini. Orang timur tidak seterbuka orang barat. Ada sekat sedemikian tinggi sekedar berkomunikasi untuk sebuah kepastian penafsiran. Naïf!
Orang-orang lebih rela menghabiskan waktu untuk sekedar berdoa daripada memberikan penjelasan atas sebuah konflik karena terhambatnya komunikasi. Orang mencari solusi dari langit tiap jatuhnya air mata tanpa berani menghadapi konflik itu sendiri. Tak ada konfrontasi. Argumen menjadi coretan kutukan-kutukan hati tanpa realisasi. Yang saya pahami, doa adalah cara kita menyelesaikan permasalahan. Terlepas caranya melalui negosiasi atau bahkan perlawanan. Bukan hanya tunduk dan menangis, lalu pura-pura mempertanyakan apa yang terjadi.
Catatan kecil ini saya simpan. Ini bukan persoalan maaf, kawan. Namun, ini sebuah perlawanan atas penistaan harga sebuah persahabatan yang ternoda. Agar suatu saat kau mengerti, betapa perihnya eksistensi yang dikhianati atas sebuah tuduhan tak berdasar. Pernikahanmu suci. Persahabatan kita diingkari. Itu saja yang ingin aku sampaikan padamu.
*terilhami dari pernikahan seorang sahabat beberapa waktu lalu.
Bandung, 28 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar