Kamis, 16 Agustus 2012

Demi Langit-8

Barangkali ini persoalan stigmatisasi tentang kami yang berhubungan lawan jenis dengan pria berkebangsaan asing. Asumsi-asumsi muncul dan seringkali membuat saya jengah. Dari mulai asumsi mengenai perbaikan keturunan, finansial, sampai seksualitas. Mungkin ada sebagian perempuan pribumi yang melakukan hal-hal itu, namun tidak bagi sebagian lain. Namun, tahukah Anda bahwa ketika tuduhan itu dilayangkan pada kami yang tidak memandang tiga hal tadi cukup menyakitkan?
 
Bule juga manusia. Betul bahwa mereka open minded. Mereka asyik untuk diajak diskusi tentang apa pun tanpa ketakutan mengenai dogma, doktrin, dan lain sebagainya. Mereka sangat terbuka dalam banyak hal. Salah satu sifat yang masih sulit dimiliki bangsa kita. Jika ada anggapan bahwa mereka gila dalam perihal seksual, saya pikir, bangsa kita bisa jadi lebih buruk. Sebagian bangsa kita rela memperkosa temannya sendiri dalam sebuah pesta seks, tidak seperti mereka yang melakukannya dengan kerelaan dan suka sama suka. Sebagian bangsa kita begitu heboh dengan perempuan-perempuan seksi, namun bagi mereka itu hal yang biasa. Kasus pemerkosaan nyata-nyata lebih besar di negera berkembang, daripada negara maju yang notabene bertebaran di barat sana. Prostitusi bahkan bisa masuk ke dalam iklan-iklan TV mereka, namun itu pun dijadwalkan di atas pukul 10 malam dimana anak-anak sudah tidur. Bandingkan dengan berita-berita vulgar tentang pelecehan seksual dan kriminal negara kita yang bisa dikonsumsi kapanpun,  dimanapun, dan oleh siapapun.
 
Betulkah barat identik dengan bebas? Betulkah mereka tak kenal kesantunan? Coba Anda pergi berbelanja di negara-negara itu. Ada kalimat khas yang akan Anda terima, “apa yang bisa saya bantu? Terima kasih”. Kalimat yang cukup sulit kita temui di negara sendiri ketika masuk pusat perbelanjaan. Ada kalanya pramuniaga hanya diam bahkan sibuk memainkan ponselnya. Atau coba Anda bandingkan ketertiban jalan raya, antrean, atau fasilitas umum lainnya di negara maju dengan negara kita. Mereka sangat teratur dan juga santun. Mereka sangat menghargai fasilitas umum. Di negara kita, sedikit sekali telepon umum yang berfungsi, halte bus yang bersih tanpa coretan, atau antrean tanpa serobot. Atau perhatikan keamanan berkendara. Bahkan menghormati penyeberang jalan pun sulit. Seringkali pula penyeberang jalan tidak mempedulikan zebra cross atau jembatan penyeberangan yang sengaja dibuat demi keamanan yang notabene hasil pajak kita. Inikah bangsa timur yang digembar gemborkan itu dengan kesantunan yang dijunjung tinggi? Kesantunan yang melekat pada tradisi ketimuran dan moral. Ataukah bangsa kita sudah muak dengan label bangsanya sendiri? Jika pun ada kasus-kasus yang berhubungan dengan seksualitas, barulah bangsa kita berteriak mengenai norma dan moral ketimuran dibalut label keagamaan. Ataukah moralitas kita hanya terbatas pada selangkangan? Kesantunan kita hanya terbatas pada ketelanjangan dan adegan-adegan seksual. Namun, seringkali kita lupa pada cara santun kepada sesama manusia.
 
Kita lupa sikap menghargai dan menghormati orang miskin atau orang yang berpenghasilan rendah, seperti tukang sampah, buruh, dan lain-lain. Kita melupakan korban-korban penindasan pemerintah, seperti tragedi lapindo. Bahkan sebagian orang semakin asyik dengan penindasan atas nama agama di Palestina sana. Kita lupa dengan ketertindasan bangsa sendiri! Bukankah kebanyakan buruh dan kaum miskin kota adalah mereka yang notabene menganut agama mayoritas kita juga? Lebih jauh lagi, mereka adalah bagian dari ibu pertiwi. Mengapa harus jauh bicara tentang Palestina dan Israel, sedangkan kita bahkan dijajah oleh pemerintah di negara sendiri?
 
Kembali pada stigmatisasi kaum bule. Kami adalah dua orang yang mencoba saling mencintai. Kami beradaptasi satu sama lain atas segala perbedaan yang ada. Ada kalanya kami sedemikian lelah dan marah dengan opini orang lain. Saya seringkali berkata padanya bahwa inilah realitas bangsa kita. Semua berawal dari pendidikan yang rendah, sehingga pola pikir yang ada pun menjadi dangkal. Barangkali ini yang disebut dengan generasi frustasi bangsa kita. Dimana masyarakat jengah dengan perilaku depresi penguasa. Rakyat dan pemerintah sama-sama disorientasi. Rakyat berperilaku menyimpang karena hasil keputusasaan kepada penguasa, sedangkan penguasa seringkali asyik dengan permainan dadunya. Namun, apa pun keadaannya, Indonesia tetap tanah air saya yang dengan segenap hati saya cintai. Percakapan pun ditutup dengan senyuman.


Bandung, 22 Juni 2011        

Tidak ada komentar: