Tulisan ini saya buat atas dasar kegelisahan sebagai seorang perempuan. Percik-percik kecil yang kadang meledak ketika ada tema-tema mengenai perempuan yang menjadi alas kaki menyeruak ke permukaan. Menekan hak-hak dasar perempuan. Mengkebiri muatan-muatan manusiawi yang melekat pada diri perempuan.
Letup kecil kesekian terjadi beberapa malam lalu ketika saya menghabiskan waktu senggang di kampus. Ada obrolan-obrolan ringan kaum Adam yang terdengar persis di samping saya. Mereka bicara tentang perempuan. Katanya, salah satu dari mereka pernah terjebak di kosan teman perempuannya dengan niat awal mengantar pulang tengah malam. Namun, apa yang terjadi? Rupanya perempuan tersebut mengganti bajunya dengan daster yang nampaknya cukup mengundang naluri sang Adam.
Laki-laki itu bicara panjang lebar mengenai "kejalangan" perempuan tersebut, sehingga saya begitu terpancing untuk berkomentar, "yah, tapi dinikmati juga, kan?" sahut saya sembari masih fokus ke monitor. Laki-laki itu menjawab sesuka hati dan bicara tentang pembenaran dirinya.
Ini yang menjadi fokus tulisan saya. Seringkali perempuan harus menanggung beban atas pikiran laki-laki. Teman pria saya sempat bicara dalam salah satu obrolan, bahkan bagi mereka, yang berkerudung sekali pun, pikiran-pikiran negatif—yang memuakan menurut saya—muncul. Katanya, mereka justru jauh lebih tertarik dengan perempuan—yang katanya tertutup—karena daya imajinasinya tertantang jauh. Mereka merasa dituntut untuk menebak warna kulit, bentuk, dan ukuran di balik kain-kain panjang yang menjulur.
Lantas, saya berpikir, apa yang ada dalam pikiran mereka? Tentu, saya menghindari generalisasi disini. Tidak semua memang. Tapi, saya berani menjamin, tidak ada satu pria pun yang sanggup menolak godaan-godaan—yang kadang tidak sengaja—apalagi jika dikorelasikan dengan keindahan material yang melekat pada tubuh perempuan. Masalah eksekusi, saya pikir menjadi lain persoalan.
Saya beberapa kali mencoba diskusi dengan para laki-laki mengenai pendapat mereka tentang perempuan seksi. Lagi-lagi sebelum statement penjelas dimulai, kata-kata awal selalu diawali dengan, sebagai laki-laki, saya... Unik, bukan? Dengan bangga pernyataannya dibalut dengan semangat gender golongan mereka yang saya lebih senang menyebutnya sebagai arogansi patriarki. Kemudian, saya lanjutkan pertanyaan, apakah wanita seksi yang Anda sebutkan tadi, masuk ke dalam daftar wanita idaman? Mereka dengan tegas menjawab, untuk dinikmati tanpa perlu dimiliki. Mengapa? Alasan mereka adalah tubuh perempuan harusnya dimiliki oleh pasangannya, bukan untuk diekspos. Pertanyaan saya menjadi lebih jauh, lantas, Anda menikmatinya, bukan? Jawaban mereka, tentu, karena tugas kami sebagai laki-laki menikmati pemandangan yang disajikan, bukan salah kami ketika terangsang dengan gaya mereka.
Bagi saya, ini tindakan yang luar biasa melecehkan perempuan. Perempuan dijadikan objek lagi dan lagi. Perempuan harus tunduk di bawah sistem patriarki dengan segala atributnya. Perempuan dituntut untuk masuk ke dalam pola pikir laki-laki untuk menutup tubuhnya dengan alasan melindungi, yang itu pun tetap tidak bisa lepas dari cara berpikir laki-laki. Katanya, mencegah laki-laki berpikir negatif . Lantas, mengapa laki-laki butuh bukti konkret penutupan lekuk-lekuk tubuh perempuan, bukan mengerangkeng pikirannya sendiri. Mengapa lagi dan lagi perempuan yang harus bertanggungjawab atas liarnya pola pikir laki-laki?
Contoh sederhana, dalam banyak kasus perkosaan, perempuan yang disalahkan atas pakaiannya. Belum ditambah dengan menanggung beban seumur hidup atas penderitaannya. Sulit menatap masa depan karena laki-laki menjauh atas ternodanya diri atas stigma yang beredar di masyarakat. Ternoda. Apa makna dari kata ini sebenarnya? Jika pun terjadi pola kompromistis antara pelaku dengan korban, pernikahan menjadi tameng formal agar diterima di masyarakat. Lantas, setelah itu? Biasanya perempuan ditinggalkan dengan anaknya dan perceraian pun terjadi. Bagaimana nasib masa depan mereka? Lagi dan lagi ini dianggap sebagai konsekuensi perbuatan yang dititikberatkan pada perempuan.
Ada yang menarik ketika beberapa waktu lalu saya membaca artikel tentang perempuan-perempuan Timur Tengah yang melakukan operasi selaput dara di Prancis karena mereka menganggap hal tersebut adalah aib. Tidak sedikit yang bunuh diri ketika statusnya bukan perawan lagi. Ironis. Bagaimana dengan pria yang tidak perjaka? Selalu ada standar ganda di belahan dunia mana pun ketika bicara tentang perempuan. Perempuan dibuat tertekan dengan tubuhnya. Perempuan yang berperan penting atas bayak hal yang terjadi dengan tubuhnya, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada laki-laki.
Ini yang coba saya kritik. Betapa konstruksi pemikiran patriarkis begitu mempengaruhi tatanan sosial masyarakat. Semangat kesetaraan dalam koridor sosiologis masih sangat minim. Belum lagi penafsiran teologis yang parsial begitu dominan membentuk bangunan fundamental yang tumbuh subur di iklim sosial, sehingga pola-pola manusiawi terhadap perempuan masih rendah dengan berlindung di balik teks suci. Tidak ada yang lebih memuakan dari itu.
Bandung, 25 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar