Rabu, 29 Agustus 2012

Kerikil Hitam-10

Seperti Natal atau Sabatmu, aku termangu. Andai bisa terdiam sendiri dalam surga kecil dan tak perlu merasa diperbudak keadaan, aku enggan pulang. Sejak dulu aku benci mengalah. Benci satu kata pecundang yang seringkali diputar di kepala, kekalahan. Boleh jadi ini benturan keras yang muncul berulang.

Siapa dia? Perempuan yang sempat menyimpanku di rahimnya selama sebelas bulan.

Berbuatlah seibu yang kau mampu dan jangan kotori dengan cela sedikit saja. Anggaplah aku bergurau. Meracau. Namun, tahukah kau? Mencercamu, aku tak kuasa. Meski hati mengutuk-ngutuk, aku bungkam dan menulisnya menjadi puisi. Ah, tidak. Aku tak berpuisi pada-Nya dan menyematkan namamu di sana. Aku bahkan enggan begitu. Tahukah kau tentang jengah di ubun-ubun kala kau lupa pada dirimu?

Siapa kau? Perempuan yang sempat menyimpanku di rahimnya selama sebelas bulan.

Aku menyusuri sungai dan mencari-cari kerikil kecil. Ada pecahan kaca di sana. Kau yang melemparnya. Sebut saja maumu dan aku ikuti. Namun, jangan pernah memintaku lagi untuk itu. Aku tak sedang menggurui. Aku hanya memberikan sesuatu yang barangkali orang lain tak sanggup melakukannya padamu. Aku tahu, hidupmu penuh dengan goresan abstrak tak beraturan.

Namun, bisakah kau tak ulangi seruan laknatmu yang selalu terucap di tiap gundah? Ah, kau tak tahu apa itu ibu. Hangat dan wangi rahimmu tak seperti kata-kata durjana yang sering kau teriakan saat merasa sepi! Panggil aku sang durhaka sesuka hatimu. Aku tak ‘kan gusar sebab letupanku tak di sana. Ledakanku ada saat kau menghilang lagi dan lagi, kemudian aku harus mencarimu. Berhentilah menjadi ratu dan simpan telunjukmu di balik selendang kesombonganmu yang menjijikan itu.

Siapa kau? Perempuan yang sempat menyimpanku di rahimnya selama sebelas bulan.

Seperti Natal atau Sabatmu, aku termangu. Enggan pulang sebab aku benci mengalah. Kau yang ajarkan itu dulu, bukan?


Bandung, 18 Agustus 2012

Tidak ada komentar: