Aku tak tahu alasan mereka menjulurkan tangan. Oh, berjabat tangan, itu maksudku. Sakit itu di sini. Mari, aku tunjukan, di hati, kau tahu? Tak sebanding dengan jabatan tanganmu.
Aku beri tahu, bukan seperti mereka yang tangannya bau atau terlalu halus hingga tak ingin bersalaman, aku hanya benci ketulusan yang diumbar atas nama Tuhan! Kemari, lihat mataku. Aku simpan sakit ini agar kau bisa mencoba mengerti! Angkuhmu sedikit lebih tinggi dariku rupanya. Mereka jadi alas kakimu. Kau tak sadari itu. Aku bicara dan kau menolak. Ya, kau! Aku bicara padamu!
Aku terlalu muak untuk bersembunyi dari sakitku kini. Kau tak mau tahu luka bertambah lagi dan lagi. Aku bukan hanya kecewa dan terluka, tapi aku juga marah. Aku benci sikapmu yang menjadi badut! Aku tak butuh sentuhanmu, kau tahu?! Aku bukan pemadam kebakaran yang siap kapan pun, tapi aku lakukan itu padamu. Dan kau? Selalu tahu cara membatalkannya dengan mudah. Oh, ya, aku bukan Tuhan. Aku bukan orang yang berlagak seperti malaikat! Hei, aku bicara padamu! Temui doktermu sekarang dan katakan telingamu sakit!
*terinspirasi dari salah satu komentar teman lama di salah satu notes yang saya buat dalam sebuah jejaring sosial, katanya, kalau semua selesai dengan maaf, untuk apa ada polisi? Tapi ada polisi juga kadang masalah tambah ruwet. Jadi, katanya, suruh aja orang itu bayar maaf, dasar lo kambing! ;p
Entah lupa atau atau mungkin lenyap dalam prahara, merimba iri memecut perih.
Bandung, 4 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar