Jumat, 17 Agustus 2012

Sepenggal Bias-10

Kala itu aku menghadap barat. Sudah lama sekali sebelum berkemas tinggalkan kuning dan jingga. Dini hari. Menghitung batang-batang rokok yang ikut tertegun bersama pergantian musim. Tak jauh dari bangunan tinggi di tengah pemukiman kumuh hasil semburan jalang penguasa bermental penghisap racun-racun binal. Dengan wangi kopi kental hitam tanpa gula. Mencoba menjamah ranah jiwa yang sempat lupa kembali bersama tulip kuning.

Mungkin saja ada sedikit santun yang bisa kau puisikan pada tirai yang menutup malam di hati. Agar rasa tak menjadi lupa pada cerita dan lingkaran suci yang kini aku simpan di dalam kotak. Harusnya kita sama-sama menyimpan mesin penghitung dan memiliki lorong waktu. Agar suatu saat kita tak harus diingatkan pada kisah manis dan getir dalam rangkulan nyanyian berdua.

Wangimu masih bagian dari kotak besarku yang tak bisa ku sisipkan di lemari. Akhir pekan dulu, wangi itu mengisi petakku. Kau dengan rambut basah dan badan terlihat segar mengalungkan handuk kecil. Kau dengan bibirmu yang masih dingin sisa siraman air menyentuh bibirku yang malas beranjak dari mimpi. Mimpi yang enggan membuatku bangun untuk menghayati bahwa kelak kita berhenti dari cerita ini. Nanti ada cap masa berisi potongan-potongan kecil surga yang kita bangun bersama. Surga hanya kita yang tahu. Surga yang hanya milik kita. Surga berisi kebahagiaan yang tak perlu kita percikkan ke dalam jiwa-jiwa kering insan lain. Surga kita, milik kita, lelakiku.

Apa yang memabukanmu tempo hari? Lebih dari anggur, bukan? Lebih dari minuman-minuman itu. Kau mabuk dalam ilusimu. Kau terbang menuju tempat yang kau puja. Sebelumnya kau sembunyi di balik dekapan sang bunda yang mengisyaratkan percepatan sebuah akhir. Kau pergi menjelang pagi. Kau lebih gesit dari ayam jantan. Sapu tanganmu kau tinggalkan di meja bersama pigura hitam. Barangkali aku harus mengajarimu cara mabuk yang baik.

Ini anggur di tanganku. Mau mencoba? Aku tuangkan, ya? Jangan menolak! Setidaknya, kau hanya akan lupa pada tingkah semalam saja. Kau akan tahu apa itu mabuk. Anggurku akan mengajarimu cara menyimpan tangis dan memendam perih. Menahan luka. Anggurku akan memberitahumu makna menanti. Jangan mabuk selain oleh anggurku karena kau hanya akan tahu cara mengkhianati!

Anggurku masih anggun di atas meja. Tak tersentuh karena kau mabuk lebih dulu. Kau malah belajar mengasah makna mencerca. Pulanglah. Jangan mabuk di depanku karena aku mencintai anggur dalam gelas. Tak serupa ilusi yang membuatmu lebih dari mabuk.
Ini gelas anggur kesekianku. Berharap suatu saat kita mabuk bersama.



Bandung, 27 Januari 2011

Tidak ada komentar: