Mungkin naif ketika bicara tentang setengah kosong dan setengah berisi. Tadi malam saat filsafat Buddha yang misterius ini sejenak menyita perhatian pada titik-titik di tangkai tulip kuning. Ya, masih tentang sore yang bicara tentang vihara. Betapa sang bikkhu menjadi agung di tengah bising yang entah bermuara di laut mana. Samudera mengabdi pada simpul dinasti dewa langit yang mengejar naik gradasi. Sama seperti jiwa yang perlahan bergerak menuju titian nirwana. Oh, masih tentang nirwana rupanya. Ada yang lebih tinggi dari itu, bukan? Moksa yang hidup di tiap tepi degup santun mencoba mencari hiruk pikuk semesta yang dibungkam.
Siapa yang berani ikut serta menuju-Nya? Lorong moksa ada di hadapan kita, kawan. Gumpalan mungkin sopan mengaduh pada Dewi Kwan Im yang mencinta sajak-sajakku. Putih mulai mengkebiri hitam. Ya, warna yang paling aku cinta. Warna yang tak pernah sanggup diintervensi apa pun. Tak ada yang meracuni warna hitam. Jika pun ada, justru lebur bersamanya. Namun, ketika putih hadir, keduanya tegas memberi tahu identitasnya masing-masing. Mungkin itu pula yang menyebabkan temanku di Belanda sana begitu semangat mewakilkan dirinya dengan warna ini.
Beberapa waktu lalu aku bernaung di bawah sabit yang menampakan diri. Oh, aku tahu. Jika waktu di pantai dulu, bulan penuh, beberapa waktu lalu malah sabit. Seolah menyampaikan pesan bahwa ada yang jauh dari utuh. Ada yang duduk. Ada yang tersambit. Aku atau kau, lelakiku? Siapa yang bicara tentang mengapa dan bagaimana? Aku berada di mengapa dan kau bagaimana. Itu jawabannya. Seharusnya bisa genap, bukan? Namun, ternyata tak seiring seperti angka sebelas.
Puisi dan prosa hati masih terus tertuang di kertas-kertas malam. Kapan kita mengadunya bersama sambil menuju pagi? Simpan kata maaf. Aku enggan beri itu. Jangan pula kau berikan maaf dengan sukarela padaku. Kita lipat saja kata itu dan memasukannya ke dalam bongkahan pualam atas seni yang terukir agung. Bisa juga kita sematkan di sela sungai kecil di gunung es. Dimana sajalah yang penting hanya kita yang tahu.
Hampir saja aku lupa. Kotak hitamku sudah siap. Hanya tinggal menunggu waktu. Hitungan mundur menuju 33 purnama. Aku mulai merapikan meja-meja di benakku. Membenahi rasa yang masih ada untukmu. Selalu. Mensemesta. Membuai demi moksa.
*terispirasi saat suatu malam saya mendengar lagu Jikustik-Puisi. Saya tidak menyimpan kekaguman pada grup yang satu ini. Namun, entah kenapa, saya cukup berimajinasi sambil mendengarkan lagunya. Katanya, kapan lagi ku tulis untukmu tulisan-tulisan indahku yang dulu. Pernah warnai dunia. Puisi terindahku hanya untukmu. Mungkinkah kau ‘kan kembali lagi. Menemaniku menulis lagi. Kita arungi bersama. Puisi terindahku hanya untukmu.
Menuju tiga keganjilan purnama kesebelas. Kotak hitam ini ku simpan jauh sebelum kau tahu bersama lingkaran bersenandung berbatu mulia. Selamat datang hujan dini hari.
Menuju tiga keganjilan purnama kesebelas. Kotak hitam ini ku simpan jauh sebelum kau tahu bersama lingkaran bersenandung berbatu mulia. Selamat datang hujan dini hari.
Bandung, 10 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar