Jumat, 17 Agustus 2012

Sepenggal Bias-12

Barangkali keliru. Ini lebih dari sekedar menyakitkan. Sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk malam tadi. Berisi anggukan kecil. Entah apa yang ada dalam pikirnya. Sudah lama berlalu. Namun, hentakan kasar itu masih juga memecah sunyi. Menambah daftar panjang ruas-ruas perih. Aku tahu itu caramu menghibur, duhai mentari rinduku. Adakah yang lebih sederhana ketimbang salam suci? Ketukan tawamu yang tinggal sepenggal itu memaksa aku mengurai sajak-sajak yang mulai usang. Hampir berkenalan dengan usai.
 
Kau masih sendiri disana. Aku sudah melewati selaksa senja dengan lagu-lagu yang mengulum rindu. Menghitung masa yang seringkali biadab memancung rasa. Meruahkan sesal yang bertumpu pada hujan sore. Ya, hujan kala itu terakhir kali kita bergenggaman tangan. Ketika itu kita bahkan gagap mengeja hari. Melepas bulan saat kau baru saja berulang tahun. Meninggalkan pigura kecil yang dengan setia aku simpan. Menatap senyummu tiap aku baru saja membuka mata.
 
Apa kabar langit kamarmu, lelakiku? Tidakkah kau lelah menipu waktu? Seruan hijau kembali menunjuk tepi hati. Jangan terlalu lama duduk disana. Kau tak 'kan temukan aku. Ini aku yang menyiram surga dengan wangi tetes doa yang seringkali letih memanggilmu. Aku disini yang lupa pada mentari saat gantikan bintang. Aku yang memegang dadu dan enggan menghempasnya. Aku yang mencinta judi paling jalang di semesta lewat mantra-mantra dari kitab Januariku.
 
Pesan singkatmu malam tadi mengajariku tentang jengah yang berhamburan di atas lentera hati. Untukmu, lelakiku, barangkali memang kita harus berdamai dengan pagi.

 
*terinspirasi lagu Tori Amos-Sleeps with Butterflies yang membantu saya meredam geliat yang berdenging atas sebuah pesan manis yang mengejutkan dan memasung ikrar lagi tentang keletihan.



Bandung, 29 Juni 2011

Tidak ada komentar: