Jumat, 17 Agustus 2012

Sepenggal Bias-13

Kau masih sendiri, sahutmu seraya melesatkan ricuh dalam diri. Ada tanya yang mengganggu dan terus mengejar. Ada apa dalam kesendirianmu? Kau tak menjawab. Hanya menarik nafas panjang sambil memainkan pena. Aku bahkan masih ingat caramu yang menutupi gugup. Walau kita tak saling bertatap muka, namun aku tahu kau lakukan itu.
 
Sesekali hening di seberang sana. Mengapa permainan kartu ini enggan usai? Jika kau harus keluarkan kartu paling tinggi, lemparkan saja. Kau jadi juara. Tidakkah kau tahu, menunggumu yang sibuk menunda-nunda itu membuatku bersenggama dengan pedih? Kau bertahan. Berusaha mengintip kartu-kartuku yang kau bahkan tahu, aku pasti kalah. Lantas, menyudahi pun kau enggan. Kau hanya ingin menatapku yang gusar menunggu giliran, bukan? Kau tak tahu bahwa suaramu malam itu membuatku berkaca pada arca. Aku mematung. Detak seolah nyata di telingaku sendiri. Kau tak pernah tahu jika kau hadir, dengan sigap kerdil mengancam diri.
 
Aku sudah tak sendiri, giliranku berkata. Suara kecil di sudut menyahut, masih kau yang memiliki puja itu. Namun, kau berhenti pada langkah dan gontai putar haluan, lelakiku. Lantas, apa yang bisa aku gadaikan lagi, kala seluruh wahana tersihir olehmu? Perbincangan akhir kita dulu ada pada masa tetes itu berlabuh di lenganmu, demi dia yang kau panggil ibu! Dari rahimnya, kau bercengkerama dengan semesta. Aku? Aku kukuh mengikis rasa yang kita semai bersama. Sampai pada satu jentik, aku pun enggan.
 
Permisi, adakah hati disana? Barangkali terlalu lama kau sendiri, hingga kau gagap menerjemahkanku, sedangkan aku dengan tergopoh menafsirkanmu. Kita gagal dan mari sama-sama akui itu. Kau tinggal memberi sajak padaku dan aku akan katakan ya dengan sebuah anggukan kecil, lelakiku. Kau tak lakukan itu. Kau masih juga sibuk mengatur nada dan menyentuhku sesekali.
 
Aku bersamanya kini. Adakah yang ingin kau sampaikan padanya? Dia terlampau sederhana untuk kau pandang rumit. Dia yang ada pada saat kau berputar dulu. Dia yang seringkali mengaku tak tidur dan aku mendapatinya dengan tatapan lelah. Keletihannya yang dibalut dengan senyum menyambit tiap buih rasa yang aku masih simpan untukmu! Dia yang justru menemani saat pergantian tahun. Dia yang selalu sisakan waktu untuk menghubungiku sekedar mengucapkan selamat atas hari lahirku. Dia dengan puisi-puisi kecilnya. Dia yang menatapku penuh saat aku bercerita tentangmu! Tidakkah kau tahu itu?
 
Suatu saat kita bertemu lagi, lelakiku. Mungkin nanti kau akan siapkan semua catatanmu dan menceritakan aku kisah penantian dan kesendirian itu. Aku pamit. Dia telah menggandeng tanganku dan memberi pagi dengan nuansa lain. Tanpa adzan subuh. Tanpa doa berdua. Namun, aku yakin bahwa Tuhan kita sama. Semoga bahagia disana.



Bandung, 30 Juni 2011  

Tidak ada komentar: