Oya, aku lupa. Sepekan itu kita mendulang waktu yang membisu. Berganti bulan dan tahun. Ada cuplikan waktu yang terpahat. Bentuknya belum berubah. Kayunya masih sama. Belum selesai. Gores-gores yang kita buat menjadikannya sesuatu yang lain. Patah di ujung kirinya terjatuh, saat kita ucap melangkah sendiri.
Lelucon kehidupan. Hanya itu yang membuat kita salah bergurau tentang semesta. Mesin raksasa yang mengamini konspirasi apa pun. Sudah barang tentu mempersiapkan kematangan. Ya, sampaikan salamku pada sejumput duri pada dia yang kau panggil ibu. Benci ini tak pernah kenal kata lapuk. Tak ada sedikit pun tersimpan perkara adat di benakku. Siapa peduli kala kita lelah? Siapa yang berikan bahu hanya untuk menangis itu? Aku tertawakan saja.
Ingin rasanya berlalu, kemudian berlari. Tadinya aku ingin kita simpan cerita saja dulu. Baru nanti jika sama-sama mengerti warna jingga, kita bisa saling menatap lagi. Lalu, apa makna sapamu yang lagi dan lagi ini? Di tiap sudut kau simpan salam. Tak ada yang aku balas. Melihatnya pun membongkar pedih.
Tak sengaja. Kotak biru itu aku sentuh dan kita bertatap muka. Jika pun ada yang lebih dari tiupan selatan, barangkali itulah yang aku rasa. Getar yang bercampur lelah. Ada sedikit percik hentak yang berujung pada getir. Ini nadir, lelakiku.
Tak sengaja. Ada berat yang cepat tertancap ketika tanganku bergerak menyudahi. Ada tatapan sejuk disana. Gaya rambut yang dulu aku pinta. Ada senyum sedemikian hangat. Bagaimana aku bisa beranjak dari kursiku kini? Pesona itu milikmu, lelakiku. Utuh dan tak tergapai tangan.
Satu jam terlewati sudah. Kita bicara tentang tulip, es krim, atau ubi yang dulu kita beli untuk temanku. Saat itu kita bahkan begitu dekat. Berselimut putih bersama. Kau tidur lebih awal, sedangkan aku baru terpejam menjelang pagi. Kita siapkan sarapan bersama. Kini, kita pintar memainkan peran. Berbaju sandiwara teater mapan. Sesekali menarik nafas panjang kala penghayatan tokoh begitu menyesakan dada.
Di akhir, kau tanyakan Ernie dan Burt. Demi Tuhan, lelakiku, luruh sudah pertahananku. Aku pikir, tangisanku yang dulu sempat jatuh ke lenganmu dan kau hanya diam, tak ‘kan terulang lagi di hadapanmu. Tanganmu memang tak menyentuhnya sekarang, namun ada yang hinggap begitu jalang di hati. Kau terdiam lagi. Si mie mie dor de tine, katamu lagi. Pelan dan hampir tak terdengar. Aku pamit tergesa.
*terinspirasi obrolan singkat setelah makan malam. Saya menatap mereka. Boneka Ernie dan Burt dalam Sesame Street. Dua tokoh yang selalu kami mainkan dalam obrolan sebelum tidur dulu.
Bandung, 17 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar