Jumat, 17 Agustus 2012

Sepenggal Bias-15

Memelukmu di balik kehangatan sayap jiwa yang baru saja terbentuk. Memanggilmu di sela-sela gundah yang mulai memesan ruang. Ada di sana. Lelah yang menumpuk suram berkabung. Ada waktu dimana aku menjaga segala sesal. Dalam malam yang membiru. Memintamu menyambung harap. Barangkali suatu saat bisa terbebas dari serupa pilu. Hari itu terakhir kali kita menjemput senja dengan hujan gerimis yang ikut memenuhi sabda.
 
Dini hari ini. Masih dengan sepi yang sama. Masih dengan lisan yang tak henti menyebut rangkaian larik puisi. Bertahan dengan samudera. Kala wajah mulai pucat dan asap yang sedemikian mengepul pekat, ada ujung yang sesaat lagi tertuju. Kelabu. Itu tepinya. Bantu aku putar haluan. Jika ada karang menjulang, biarlah diri ikut redam di dalamnya.
 
Mungkin saja aku berkenalan dengan sebuah kata untuk menyerah. Bukan untukmu. Namun, aku tujukan kepada seluruh ruah rasa yang tak tahu arti tepi. Rapi terbungkus kain sutra yang aku tabung dari rangkaian malam saat kita berbagi tawa. Apa kabar langit kamarmu, lelakiku?



Bandung, 25 November 2011

Tidak ada komentar: