Kamis, 16 Agustus 2012

Sepenggal Bias-4

Oh, masih tentang malam yang panjang. Malam yang bicara tentang rindu. Malam yang kadang biadab mengeksploitasi ruang hati. Secangkir kopi hitam kental tanpa gula terduduk dengan anggun di depanku. Aku mengamati sisa-sisa percik nirwana. Hei, nirwana bukan surga. Nirwana adalah kebahagiaan yang tidak serupa apa pun. Tak ada yang sanggup menggambarkannya. Nirwana bukan surga, kawan. Aku ulangi itu! Lebih indah dari kedamaian surga, begitu barangkali yang disampaikan Sang Buddha.
 
Itu pula yang diberikannya padaku. Tak pernah berhenti. Ah, rasa memang tak kenal tepi, bukan? Rasa tak punya waktu. Rasa tak butuh ruang. Rasa hanya butuh melekat pada inmaterial diri kita yang niscaya. Bukankah itu yang dimaksud Tuhan dalam firman-Nya? Kita adalah bagian dari percik cinta-Nya, sehingga saat rasa itu hadir, kita larut dalam nuansa-nuansa keindahan wangi surgawi. Aku ingat obrolan kami malam itu, dia duduk di sampingku. Tentu dengan memainkan rambutku yang mulai setengah punggung ini.
 
“Berapa angka favoritmu?” tanyanya.
 
“Tujuh,” jawabku pendek.
 
“Tujuh? Alasannya?” dia bertanya lagi.
 
“Tujuh itu simbol ketidakterbatasan orang Timur Tengah. Di sana pula tempat Tuhan menurunkan agama-agama besar dunia dengan bahasa yang mereka pahami. Bahasa-Nya yang dimengerti oleh mereka. Kau pikir, apa maksud dari tujuh lapis langit, tujuh lapis bumi, tujuh lapis kulit, tujuh samudera, tujuh puluh bidadari, tujuh puluh derajat, dan tujuh-tujuh yang lain? Semua Dia simbolkan dengan angka tujuh. Ketidakterbatasannya yang bisa dipahami oleh bahasa manusia”.
 
“Menarik,” jawabnya. Lalu kami terdiam. Dia masih memainkan rambutku dengan jemarinya. Menatap teduh. Menggenggam tanganku. Menciumnya. Mencoba mengerti arti senyum tipisku.
 
“Bagaimana denganmu?” kini giliranku bertanya.
 
“Aku suka angka sebelas,” tatapannya sedikit menerawang. Dia membalas senyumku dan menunggu aku menanyakannya. Namun, aku tak melakukannya. Aku biarkan dia bicara dengan bahasanya. Aku lepaskan keinginan untuk memenuhi keangkuhanku yang selalu ingin tahu tentang alasan-alasan yang dia miliki. Aku hanya ingin mengerti dia yang bicara dengan caranya sendiri.
 
Dia lanjutkan ucapannya, “Kau tahu? Coba kau bayangkan angka sebelas. Sama. Sejajar. Seiring. Berbeda tanpa pertentangan. Aku ingin menjadi angka satu dan kau menjadi satu lainnya, sehingga kita tepat dalam sebelas. Keganjilan yang genap. Bukan kontradiktif, putri. Kau hanya butuh memahaminya utuh. Sebelas itu angka ganjil dan pemenuhannya menuju sebelas adalah kehadiran yang menggenapkan”. Dia mencium keningku dan mulai bergeser ke tempat tidur. Mengajakku dengan bahasa tubuh agar aku duduk di sampingnya dan menyandarkan bahu.
 
Kami terdiam lagi. Masuk ke dalam nirwana. Aku ingin moksa, lelakiku. Aku hilang. Kau pun hilang. Kita hilang karena menyatu dengan-Nya. Bersama nafas cinta-Nya. Bersama langkah bijak-Nya. Bersama dalam hangat peluk-Nya. Beri sedikit waktu agar aku bisa menggapaimu sebentar saja sebelum kita sama-sama menghilang. Aku hanya ingin tahu bahwa ini realitas absurd yang sementara karena kita sepakat bahwa ini ilusi, bukan? Dunia. Alam terendah. Penuh teka-teki. Penuh strategi dan pertimbangan. Dunia yang kadang membuat kita seperti berdiri di balik meja kasino. Membayangkan dengan debar tentang angka-angka yang akan muncul kemudian. Dunia yang mempertemukan kita, lelakiku. Dunia yang juga kelak pisahkan kita. Maka, aku ingin segera masuk ke dalam moksa. Tempat kita tak akan terpisah. Hanya bertemu karena kita menyatu dengan-Nya. Bisakah kau bayangkan itu? Kebahagiaan apa yang bisa menandinginya? Ini bukan lagi surga. Ini nirwana!

 
*terinspirasi dari obrolan panjang saya dan pasangan di suatu malam. Saat itu juga dia nyanyikan lagu Sampai Nanti. Itu sebabnya saya sangat mencintai kata ilusi, ganjil, tujuh, dan sebelas yang selalu tertuang dalam puisi, prosa, dan tulisan-tulisan saya. Mengutip pernyataan dalam film Benjamin Button, life isn’t measured in minutes, but in moments.

Di utara ada nirwana. Di selatan ada samsara. Setahuku kau ada di timur. Belum juga pindah haluan. Aku di barat. Lupa pada armada. Nirwana benahi duduknya. Samsara pertajam tatapnya. Katanya kita ada di titik yang tak tersentuh garis lintang. Mereka pun mengukir-ukir batu karang. Kita ada dalam moksa. Tanpa langit dan bumi.



Bandung, 9 Juni 2010

Tidak ada komentar: