Kamis, 16 Agustus 2012

Sepenggal Bias-5

Jangan dulu bangun. Aku belum selesai mencuci baju, apalagi dosa. Aku belum rampung merapikan kamar, apalagi jiwa. Jangan pakai selimutku, jika kegerahan dengan matahari pagi setelah semalam kau mengaku tak tidur. Entah piala dunia atau permainan kehidupan yang membuatmu lupa pada tidur. Kita tidak menari malam tadi. Kita hanya diam. Masing-masing dalam sunyi yang hadir seketika. Sama-sama tidak bicara, bukan tak sanggup.
 
Kemarin aku mengerti kau yang mengaduk kopi hitam kental tanpa gula kegemaranku untuk sekedar mengendus perih yang sedari tadi memainkan peran. Kau mengerti aku yang hanya menghisap rokok berbatang-batang dan menghembuskan asapnya yang sesekali keras. Lagi dan lagi kita menatap matahari tenggelam bersama. Sebentar lagi senja! Oh, kau pun tahu aku benci temaram. Kita duduk tanpa bicara. Hanya saling berbisik lewat ruang hati. Meraba-raba emosi yang mengungsi lama. Entah kapan akan bermukim di tempat yang seharusnya. Barangkali hidup memang arena paling tepat, sehingga kita pun layak menyebut emosi sebagai penduduk taman bermain.
 
Malam tadi aku tak mengizinkanmu menjemput dini hari seperti biasa. Bukan enggan, aku hanya ingin bernafas sesekali, walaupun kau pulang menuju persinggahan. Merasakan dingin bersama di terpisahnya ruang. Satu cuaca. Satu dingin. Aku di sini. Kau di sana.
 
Aku tertidur pulas saat sampai di surga kecilku. Ketukan pintu pagi ini membantu menyeruak udara tak bersahabat karena hujan. Ah, hujan. Aku cinta hujan karena membantu samarkan air mata, itu yang aku kutip dari para penyair.
 
Ternyata itu kau. Berdiri kuyup dan menggigil. Aku ambilkan handuk dan membuatkan teh hangat. Masih jam enam pagi, lelakiku. Dari mana kau sepagi ini? Hujan lebat di luar. Wajahmu pucat. Kau masih tak terbiasa dengan dingin, bukan? Tentu kau akan bersin-bersin. Mari, aku usap kayu putih di badanmu. Kau hanya bicara sebentar. Tak ingin aku sendiri dalam sepi, itu saja katamu. Ah, kau masih ada. Mengapa aku harus merasa sepi?
 
Kau kadang tak tahu bahwa waktu juga menunggu keberakhirannya. Kita tidak bercinta dalam waktu. Moksa tidak hidup dalam waktu, lelakiku. Dalam senyap pun aku masih sanggup mengeja namamu, hingga tersenyum lagi. Putaran ini hanya membuatku sedikit terhuyung dan kau masih bisa menangkapku, bukan? Usah khawatir dengan tamparan roda. Mungkin aku terlempar sebentar. Kau masih mampu membantu membersihkan sisa kerikilnya. Ya, ini kerikil kecil, lelakiku. Kecil sekali. Aku yang memungutnya dan kau bersihkan nodanya. Itu saja.
 
Kau menangis malam tadi? Tanyamu. Aku memang menangis, lelakiku. Menangis itu terkadang indah, bukan? Aku bersedih dan tangis menggapaiku menuju titik aman. Hidungmu mulai berair. Aku ambil tisu untuk mengelapnya. Kau kedinginan. Aku menyuruhmu berbaring. Giliranku menunggumu dalam sakit. Kau tak tidur semalaman dan kehujanan. Kadang kau memang tak mendengar pintaku. Aku baik-baik saja dan kau pun harusnya begitu. Kini suhu tubuhmu meninggi. Aku selimutimu. Tidurlah.
 
Perlahan nafasmu mulai teratur. Kau terlelap. Aku hanya memperhatikan gerak bola matamu kala kau terpejam. Mungkin kau sedang bermimpi. Jangan katakan mimpimu buruk, lelakiku. Aku perempuanmu yang masih mampu menghapus keringat saat kau letih. Di sampingmu berdiri untuk mengakui kehebatanmu bersamaku di enam musim. Bertepuk tangan dengan bangga saat kau berselancar dengan papanmu. Tertawa bersama atas lelucon-lelucon kehidupan. Menyempurna bersama yang terkadang perih menuju-Nya.
 
Jangan dulu bangun. Biarkan aku yang mencari makan siang dan menyuapimu. Tubuhmu panas. Pikiranmu tidak. Aku tahu itu. Jangan ulangi lagi, lelakiku. Kau masih tak kuat dengan udara dingin. Kemarin kita sama-sama sakit. Tidurlah. Aku baik-baik saja dan seharusnya kau pun begitu.

 
*terinspirasi dari udara dingin, hujan lebat, dan sebuah ketukan pagi tadi dengan mawar kuning yang juga ikut kuyup… ;p

Kecupanku di keningmu membabat cumbuan resah yang mengakar. Jangan datang dalam hujan. Aku takut dekap ini tak sanggup hentikan gigil sanubarimu yang menghangatkanku kemarin sore
 
 
 
Bandung, 13 Juni 2011

Tidak ada komentar: