Kamis, 16 Agustus 2012

Sepenggal Bias-6

Dalam karsa merindu tangan Tuhan. Malam tadi purnama mengantar suka duka yang bertebaran di semesta. Masih tentang kita yang gagap mengindera kecam. Adakah suara itu benar adanya, lelakiku? Apakah kita telah lalai bermain dengan garis-garis Tuhan? Mungkinkah kita yang salah menafsirkan takdir? Aku ingin tahu sejauh mana kendali itu melekat di bawah pilihan sadar jiwa kita. Kita sepakat dengan lonceng yang berdentang di gereja menunjukan keberadaan nyata yang entah kapan bisa kita raih. Bukankah hidup tak hanya sekedar menjemput hati, namun ada makna yang mengikuti tiap tindakan?

Ketika kita mengulas keyakinan, apa yang pertama kali muncul di benakmu? Kita sibuk mengutip para pujangga dan filosof, namun kita tak bisa juga memahami maksud di balik itu. Aku ingin mengunci emosi yang selalu ikut tertawa tiap kali kita beradu ucap. Mungkin kita bisa sedikit lebih bijak melatih rasa agar tak lagi meluap seperti malam tadi. Bagiku, maaf adalah tindakan nyata. Bukan kata yang melegitimasi kesalahan-kesalahan untuk diulang kembali. Sayangnya, kita masih berkubang di tempat yang sama.

Kadang jika kita membahas apa jadinya 11 Juli atau 7 November, ada khayal yang tak berhenti mengetuk kasar di dasar benak. Mungkinkah ilusi ini sedemikian bengis, sehingga kita pun takut berdiri di depan altar? Ini pengadilan pertama, lelakiku. Aku memintamu untuk tinggal sejenak saja untuk mendengarkan langkah kakiku yang sebentar lagi terpeleset jika kau tak segera menggapai. Ketika pun itu telah terjadi, bagaimana cara membahasakannya padamu? Bagaimana lagi mengurai prahara yang sesungguhnya enggan kita ulang? Bagaimana cara menutup hari dengan tidak mengejarmu di kala hujan dan menunggumu di pagi hari?

Jangan panggil aku sebelum tidur, lelakiku. Aku ingin kehadiranmu sesaat setelah aku berpuisi pada-Nya. Dia selalu memberi cinta di balik cahaya-Nya, mengapa kita tak sanggup menerjemahkan tiap lekuk indah doa yang menjadi buih dan menyatu dengan laut hati? Ini masih tentang aku yang bicara di enam musim,  tujuh samudera, dan sebelas purnama. Tiga keganjilan sebentar lagi usai. Tambah satu, maka genap keganjilanmu. Aku menulis suara yang terekam dengan jelas di ingatan dan masih menunggumu mengulangnya lagi. Sanggupkah kita menjadi mentari?


*terinspirasi dari kebodohan malam tadi. Di tengah gerhana dan rembulan yang membulat. Menatap emosi liar yang ikut serta dalam perbincangan.

Duhai pecinta, aku mungkin rerumputan yang ikuti anginmu bernyanyi. Aku ikuti kabut yang perlahan mengurai sunyi. Enggan cederai isak yang terkulum bersama embun. Dini hari menyentuh alur. Menanti mentari rinduku pulang dari persimpangan.



Bandung, 27 Juni 2010

Tidak ada komentar: